Kamis, 29 September 2011

KREATIVITAS DALAM KEPEMIMPINAN MILITER Tinjauan Psikologi


Widura IM

Yet without such visionaries and without innovation, a nation’s way of war becomes predictable ; and predictable means vulnerable. 
                                   Air Vice-Marshal R.A. Mason, RAF

Pendahuluan

Model pembinaan di lingkungan militer yang umumnya menekankan stimulasi pada aspek prosedur, ketaatan azas, dsb. serta gaya komunikasi bersifat instruksional dan satu arah sebenarnya tidak salah, namun memang kurang efektif bila diterapkan untuk mengembangkan fungsi-fungsi berfikir yang mengarah pada gagasan-gagasan kreatif.  Untuk tujuan pengkondisian atau pembentukan perilaku, model pembinaan dan gaya komunikasi tersebut cukup efektif dan tetap diperlukan.  Tetapi bila tujuan diarahkan untuk mengembangkan pola berfikir kreatif, diperlukan penyesuaian metode pembbinaan yang dapat merangsang fleksibilitas dalam berfikir.

Kreativitas merupakan potensi yang sulit dikembangkan bila pola dan metode pembinaan menekankan pada cara-cara instruksional dan satu arah.  Diperlukan pengembangan metode, bahkan mungkin penyesuaian lingkungan yang dapat memfasilitasi berkembangnya kreativitas.  Berkaitan dengan pengembangan sumberdaya manusia di lingkungan militer, permasalahannya adalah apakah kreativitas cocok dan diperlukan di lingkungan militer yang secara universal menganut nilai-nilai konservatif dan corak berfikir konvensional.
Untuk itu perlu dikaji sejauh mana sebenarnya kreativitas diperlukan di dunia militer dan bila diperlukan bagaimana kiat mengembangkan kreativitas tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar kemiliteran.   Untuk maksud tersebut tulisan ini akan mengulas kreativitas dan dunia militer sebagai latar belakang, kreativitas dalam hubungannya dengan proses berfikir dan aspek-aspek psikologis yang menyertainya, serta pendekatan untuk mendorong munculnya kreativitas.   Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai saran memecahkan permasalahan yang ada, namun lebih ditujukan sebagai informasi untuk meluaskan wacana pengetahuan yang berhubungan dengan kreativitas khususnya di lingkungan militer khususnya  di Angkatan Udara.

Kreativitas dan Dunia Militer

Adalah suatu hal yang menarik untuk mengulas kreativitas di lingkungan militer.  Sebenarnya sejauhmana kreativitas ini diperlukan?  dan bila diperlukan, bagaimana mengembangkannya?   Karena tak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai dasar budaya militer secara universal mengarah pada konservatisme dengan sistem organisasi yang mekanistik.   Suatu lingkungan yang menganut nilai dan sistem yang menekankan keseragaman, hirarki, konformitas dan kepatuhan, top down communication, dan tidak mentolerir tindakan-tindakan di luar prosedur. (Morgan, 1986 ; Nasution, 1990)  Nilai-nilai yang tampaknya tidak memungkinkan untuk munculnya tindakan-tindakan yang didukung kreativitas.  

Sesuai tugasnya, personil militer disiapkan untuk menghadapi medan peperangan yang penuh dengan risiko bahaya.  Untuk itu dibutuhkan organisasi dan sistem yang dapat menjamin tugas dan tanggung jawab yang jelas, ketepatan bertindak, serta keselamatan.  Sejarah kemiliteran menunjukan bahwa sistem organisasi yang mekanistik, pada titik tertentu, dapat memberikan jaminan tersebut.  Dari aspek sosiobilitas dalam organisasi militer, konformitas, konsistensi dan kerjasama telah lama menjadi unsur-unsur yang dianggap penting untuk membangun semangat dan kepercayaan di antara para anggota satuan.  Ketergantungan yang saling menguntungkan (mutual dependency) di antara anggota satuan biasanya membutuhkan koordinasi, kerjasama dan kedisiplinan.  Dapat dikatakan satuan-satuan dalam organisasi kemiliteran menganut pola tersebut.  Namun disisi lain, tuntutan koordinasi dan kerjasama yang kuat cenderung menghambat tindakan mandiri dan inisiatif.   Pengalaman menunjukan ketidak mampuan mengambil inisiatif dan bertindak mandiri menghasilkan situasi yang tak menguntungkan terutama dalam menghadapi kondisi ambigus dan perubahan situasi yang tak terduga.   Situasi-situasi seperti ini tentunya menuntut kemampuan adaptasi dan inisiatif sekaligus kemampuan memecahkan permasalahan-permasalahan kompleks yang ditimbulkannya.  Suatu situasi dimana tuntutan koordinasi dan konformitas sering tidak menguntungkan dan organisasi dengan sistem mekanistik sering menemui keterbatasannya. (Klemm, 1986 ; Morgan, 1986) 

Memecahkan permasalahan dalam kondisi ambigus dan perubahan situasi tak terduga, membuat seseorang tidak cukup dibekali teori, prosedur atau cara bertindak berdasarkan paradigma konvensional.  Seringkali diperlukan kemampuan pemecahan masalah yang khas, tidak biasa namun efektif, yaitu kreativitas. Kondisi yang sama sebenarnya terjadi juga dalam menghadapi perkembangan teknologi yang sangat cepat dewasa ini.  Dan yang menarik, produk teknologi yang berkembang cepat tersebut sebagian besar digunakan di lingkungan militer.  Kondisi yang menuntut individu untuk mampu beradaptasi dengan cepat dalam menghadapi dan menyiasati perubahan teknologi dan menguasai teknologi itu sendiri termasuk permasalahan yang ditimbulkannya.  

Angkatan Udara sebagai organisasi militer dengan kekhasan padat teknologi, diproyeksikan untuk menghadapi situasi perang tetapi juga sekaligus pengguna produk teknologi dimana perkembangannya tidak jarang mendahului kesiapan personilnya dalam menguasainya.  Pada perang konvensional, asumsi seorang komandan lebih didasarkan atas informasi tentang disposisi satuan-satuannya dan keyakinannya bahwa satuan-satuannya akan bertindak sesuai perintah dan sesuai dengan apa yang telah mereka peroleh selama latihan.  Sedangkan perang modern, khususnya peperangan udara, pertempuran lebih merupakan agregat dari sumberdaya (resources) dan satuan-satuan yang saling bergantung ; seperti ketepatan waktu dalam penempatan orang, pesawat, kesenjataan, komunikasi, dan dukungan logistik untuk mencapai konsentrasi kekuatan secara penuh sesuai kebutuhan agar operasi dapat dilaksanakan dengan meyakinkan.  Ditinjau dari sudut pandang ini, apakah kreativitas tidak diperlukan di Angkatan Udara ?

Kondisi-kondisi yang diuraikan sebelumnya jelas membutuhkan kesiapan personil.  Disamping tetap mempertimbangkan pentingnya nilai-nilai kemiliteran yang berlaku umum juga perlu mengembangkan kreativitas secara proporsional untuk menyiasati perkembangan teknologi beserta dampaknya pada taktik dan strategi  militer  Itu  sendiri.     Seperti dikatakan oleh  seorang tokoh air power, Air Vice-Marshal R.A. Mason (1986), aspek perilaku yang muncul sebagai konsekuensi dari nilai-nilai kemiliteran tidak harus dipertentangkan dengan perilaku yang menyertai kreativitas, keduanya harus dapat saling melengkapi (complementary).   Terpenting adalah bagaimana mengembangkan kreativitas untuk membangun kemampuan personil dan organisasi militer yang menyeluruh agar siap menghadapi peperangan modern. 
           
Kreativitas dan Proses Berfikir

            Kreativitas umumnya berkaitan dengan gagasan-gagasan original  dan praktis, yang relevan untuk memecahkan suatu masalah.   Penyelidikan tentang  pemecahan masalah secara kreatif berupaya untuk mendapatkan gambaran bagaimana gagasan original dan praktis ini muncul.   Individu sebenarnya tidak terlalu kesulitan untuk memunculkan gagasan yang original, biasanya yang lebih sulit adalah mengeluarkan gagasan yang original tapi juga praktis.  Gagasan yang original namun tidak praktis tak memenuhi kriteria kreativitas.  Gagasan seperti itu tidak realistik dan lebih bersifat khayalan.  Seperti penderita gangguan “psikotik”, mereka juga memunculkan gagasan original namun hal itu merupakan produk dari gangguan proses berfikir.  

Gagasan-gagasan original yang tidak biasa atau tidak umum, sering bertentangan dengan gagasan-gagasan lama.  Kerapkali gagasan-gagasan tersebut sulit diterima lingkungan terutama oleh lingkungan yang menganut nilai-nilai konservatif.   Namun demikian, gagasan-gagasan kreatif selalu bermanfaat dan efektif untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks.   Matlin (1983), mengartikan kreativitas sebagai kemampuan untuk menemukan pemecahan masalah yang tidak biasa (unusual) dan bermanfaat (useful). 
           
Seringkali orang-orang yang penuh dengan gagasan-gagasn original dipadankan dengan orang yang tidak tahu aturan, maunya sendiri, aneh, dsb.  Studi mengenai orang-orang kreatif ternyata memang melaporkan adanya kecenderungan tentang beberapa karakteristik kepribadian mereka yang khas. Mereka umumnya digambarkan sebagai individu yang memiliki kecenderungan individualistik dan mandiri, agak introvert, konformitasnya rendah, intuitif, dan berpusat pada diri sendiri. (Ellis & Hunt, 1993)   Dari sudut pandang aspek karakteristik kepribadian, memang agak sulit untuk dapat memandang mereka sesuai dengan nilai-nilai lingkungan yang berlaku di organisasi militer yang menekankan nilai-nilai konservatisme serta pentingnya konformitas, kerjasama, dan koordinasi.    Namun seperti dikatakan oleh Air Vice-Marshal R.A. Mason, kontradiksi-kontradiksi ini tidak perlu dipertentangkan melainkan bagaimana mengupayakan untuk saling melengkapi.  Pada saatnya individu-individu seperti ini sering diperlukan terutama dalam peperangan modern yang berlangsung cepat, berdaya hancur tinggi, dan melibatkan kekompleksan dukungan logistik, perlengkapan dan senjata, dimana situasinya unpredictable.  Bilamana perencanaan, organisasi, koordinasi, dan komunikasi mengalami kegagalan, maka para pemimpin harus mengandalkan kekuatan pribadi, kecerdikan, fleksibilitas, inisiatif, dan kejernihan berfikir yang kesemuannya ini dimiliki oleh mereka yang berkarakter kuat dan kreatif.

Studi lainnya tentang individu-individu yang kreatif menunjukan bahwa mereka biasanya cerdas.  Namun demikian, tidak selalu orang yang cerdas itu juga kreatif.   Hasil survey melaporkan bahwa pada kenyataannya individu-individu yang kreatif biasanya tidak “terlalu” cerdas namun well informed.  (Klemm, 1986)    Terlalu cerdas ternyata menimbulkan pola berfikir kaku atau terlalu “logic”, dan ini tidak mendukung fleksibilitas berfikir yang dibutuhkan dalam kreativitas.  Sedangkan well informed atau memiliki informasi yang baik -  khususnya tentang masalah yang dihadapi – dibutuhkan untuk memahami dan mengidentifikasi permasalahan.  

Bila kreativitas tidak mempersyaratkan pola berfikir terlalu “logic”, kemudian pada batas mana sebenarnya gaya berfikir yang proporsional diperlukan untuk mengembangkan kreativitas ?   Untuk menjawabnya, perlu difahami lebih dahulu perbedaan pola berfikir konvergen dan divergen.   Berfikir konvergen berhubungan dengan pola berfikir yang mengarah pada satu solusi tunggal, atau menarik kesimpulan logis dengan penekanan pada pencapaian hasil atau jawaban yang paling tepat.   Sedangkan berfikir divergen mengarah pada pemikiran yang menghasilkan berbagai alternatif pemecahan masalah dengan penekanan pada kuantitas, variasi dan relevansi solusi.
           
Dalam proses berfikir kreatif, terlibat beberapa potensi atau aptitude yang mendukungnya (Edwards, 1975 ; Ellis & Hunt, 1993).   Antara  lain ;  Kepekaan terhadap masalah, yaitu kemampuan melihat masalah dimana orang lain belum melihatnya.  Hal ini dapat berhubungan dengan kemampuan melihat kekurangan, kelemahan atau kekeliruan orang lain dalam melihat suatu obyek atau peristiwa.  Lainnya adalah fluency atau kelancaran berfikir yang merupakan kemampuan mencetuskan berbagai (atau banyak) gagasan alternatif yang mengarah pada pencapaian tujuan/pemecahan masalah.  Fleksibilitas berfikir, yaitu kemampuan untuk mengubah pendekatan, bebas dari kekakuan dalam memecahkan masalah.  Selanjutnya, originalitas yang berhubungan dengan kemampuan menciptakan cara pemecahan baru atau khas.  Redefinisi, kemampuan untuk memberi arti atau rumusan baru pada obyek atau masalah, dengan melepaskan pengertian yang lama, yang biasa, untuk memanfaatkannya sebagai cara-cara baru dalam memecahkan masalah.  Dan terakhir, elaborasi yaitu kemampuan mengembangkan suatu gagasan, konsep atau obyek, baik memperkaya dan/atau  merincinya.

Pertanyaan selanjutnya, apakah potensi-potensi yang mendukung kreativitas merupakan “bakat bawaan” atau dapat dikembangkan melalui pelatihan atau metode pembelajaran tertentu ?   Terdapat silang pendapat di antara para ahli dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.  Namun yang penting disini adalah kemampuan mendeteksi potensi-potensi tersebut dan mengembangkannya secara optimal melalui metode yang tepat dan efektif.   Jadi sebenarnya lebih penting untuk menyiasati lingkungan dalam mendorong munculnya kreativitas.

Aspek-aspek tersebut dapat digunakan untuk memahami potensi individu untuk selanjutnya dimanfaatkan titik tolak dalam mengembangkan kreativitasnya.  Misalnya, untuk meningkatkan kelancaran berfikir, individu distimulasi untuk mengungkapkan sebanyak mungkin gagasan alternatif berkenaan dengan suatu masalah tanpa takut dikritik atau berfikir bahwa gagasannya baik atau buruk, berguna atau tidak berguna.   Mereka dinilai baik bila dapat mengeluarkan gagasannya sebanyak mungkin.  Atau, untuk mengembangkan potensi elaborasi, ketika individu menghadapi suatu konsep atau objek tertentu, ia dituntut untuk merinci detil-detilnya.  Demikian pula dengan redefinisi, originalitas, dan kepekaan.


Pendekatan Dalam Mengembangkan Kreativitas

            Kreativitas merupakan sesuatu yang dapat tumbuh dan berkembang melalui pengaruh lingkungan dan pendidikan.  Disamping metode pendekatan yang telah disinggung sebelumnya, studi tentang bagaimana mengembangkan kreativitas dapat dilakukan melalui lingkungan yang sengaja dikelola.  

Menciptakan lingkungan yang tepat, dapat mengembangkan kreativitas karena ternyata kreativitas bersifat menular dan menjalar (contagious).   Suatu studi penelusuran riwayat hidup para pemenang hadiah Nobel di bidang kimia ternyata berasal dari satu lingkungan yang saling terkait.  Mereka mempunyai hubungan erat, entah sebagai guru dan murid, cucu murid, hubungan mentor atau rekan diskusi, dan luar biasanya kaitan ini berlangsung lebih dari 200 tahun tanpa terputus.   Kasus ini menunjukan bagaimana kreativitas dan inovasi dapat ditularkan melalui lingkungan orang-orang yang saling berhubungan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Menumbuhkan harapan atau ekspaktasi untuk bertindak kreatif.  Inovasi mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan persepsi seseorang terhadap apakah ia diharapkan atau tidak diharapkan untuk bertindak kreatif.   Bila pimpinan mengharapkan bawahannya bertindak kreatif, maka bawahan biasanya akan melakukannya sesuai harapan pimpinannya.  Hal ini juga dapat disebabkan karena lingkungan memang mendorong untuk bersikap kreatif.

Adanya tantangan, karena tanpa tantangan maka tidak ada rangasangan yang akan memunculkan respon-respon kreatif.  Hanya perlu diwaspadai bahwa tantangan yang berlebihan dapat membebani emosi dan menyebabkan kontra produktif.   Selain tantangan, pendekatan lain yang mendukung adalah menempatkan individu dalam kelompok  yang setara.  Biasanya, orang-orang profesional ingin dihargai oleh rekan-rekan profesionalnya.   Bila mereka tahu bahwa keberadaannya tidak mendapatkan tanggapan dari rekan-rekannya, maka dorongan untuk berbuat yang terbaik umumnya tidak akan muncul.  Tapi bila rekan-rekan profesionalnya memberikan respek kepadanya ia akan terangsang untuk berbuat lebih baik lagi.            

Tempatkan individu-individu yang tepat dalam satu tim.   Orang-orang yang cemerlang akan saling menstimulasi untuk memunculkan gagasan yang kreatif, terutama bila masing-masing individu tersebut mempunyai latar belakang yang bervariasi dan memiliki keterampilan teknis dalam menangani permasalahan umum.

Menjaga individu tidak menjadi terlalu spesialis pada satu bidang.   Spesialisasi keahlian tentunya berguna karena merupakan syarat untuk menguasai keterampilan khusus.  Tetapi bila individu menjadi terlalu terspesialisasi (berlebihan), akan menghambat pemikiran kreatif.  Individu yang terlalu terspesialisasi, pengamatannya cenderung sempit dengan wawasan yang tak luas sehingga tidak dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang yang berguna untuk berfikir kreatif.   Tim kerja dengan anggota yang bervariasi latar belakang keahliannya dapat menciptakan rangsangan intelektual yang bermanfaat bagi evaluasi permasalahan dari berbagai perspektif serta mampu mengembangkan cara-cara baru dalam mengamati masalah maupun solusi masalah.

Memberikan penghargaan (rewards) bagi individu yang kreatif merupakan pendekatan lain yang cukup efektif.  Penghargaan ini dapat berupa materi maupun non materi, tidak harus mahal atau diberikan dalam suasana formal.  Asalkan difahami bahwa reward berkaitan dengan tindakan kreativitas, maka hal itu akan menjadi unsur penguat untuk mencetuskan gagasan-gagasan baru dan kreatif lainnya.
    
Menghilangkan ketakutan dan ancaman, ciptakan rasa aman.  Kreativitas dan inovasi tidak mungkin berkembang dalam atmosphere ketakutan, baik takut tidak mendapatkan dukungan administratif, rasa terancam, takut terhadap hukuman bila gagal, ataupun takut karena tidak cukup waktu.  Ketakutan disamping membelenggu munculnya gagasan-gagasan yang segar juga membuat energi terfokus pada usaha menghindari ketakutan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan upaya-upaya kreatif.  

Merubah sikap yes-man dan konformitas yang berlebihan.   Salah satu musuh kreativitas adalah konformitas.  Adalah kenyataan bahwa setiap orang memiliki tingkat konformitas yang bervariasi, dan umumnya hal ini dipengaruhi oleh budaya dan pengaruh tekanan kelompok.   Survey Crutchfield (dalam Klemm, 1986) terhadap para profesional melaporkan bahwa skor konformitas di kalangan perwira militer lebih tinggi dibandingkan dengan profesional lainnya dari lingkungan perguruan tinggi dan industri.  Sehingga dapat difahami mengapa kadang-kadang agak sulit mengharapkan munculnya gagasan-gagasan inovatif dari lingkungan militer. 

Mengenali kesalahan dengan cepat.   Hal ini berhubungan dengan upaya memperbaiki kesalahan dengan cepat sehingga dapat diketahui cara lain yang lebih baik.  Atau, mengenali secara cepat gagasan yang baik.  Dengan lebih cepat mengenali gagasan yang baik, maka akan lebih efektif mengimplementasikan gagasan-gagasan tersebut.

Menciptakan iklim diskusi dan ketidak sepakatan.  Gagasan-gagasan baru sering muncul dari forum komunikasi yang terbuka antar rekan maupun atasan.  Iklim komunikasi yang mendukung kreativitas sering muncul dari situasi dimana ada keterbukaan dan dorongan untuk menyampaikan gagasan baru, bahkan/walaupun gagasan tersebut tidak dapat digunakan.   Suatu penelitian mengungkapkan bahwa produktivitas gagasan kreatif berkorelasi langsung dengan banyaknya individu yang terlibat dalam pertemuan dan seringnya mereka bertemu.

Mengoptimalkan interaksi antar pribadi.   Gagasan-gagasan baru dan segar sering muncul dari pertemuan-pertemuan antar pribadi yang jauh dari sekat-sekat birokrasi dan hubungan yang formal. 
             
Mengubah tim kerja secara periodik, khususnya untuk tim yang dituntut selalu menghasilkan gagasan-gagasan kreatif.   Perubahan tim secara periodik perlu dilakukan, karena usia suatu kelompok kerja yang terlalu lama akan menyebabkan konformitas yang kuat dan konsekuensinya menjadi kontraproduktif dalam kreativitas.  Hasil penelitian menyebutkan bahwa usia kelompok kerja paling kreatif dan produktif rata-rata tidak lebih dari 16 bulan.  (Klemm, 1986)  

Selanjutnya bagaimana gagasan-gagasan kreatif yang dihasilkan dapat ditindak lanjuti dengan bentuk-bentuk produk baru, (perangkat keras ataupun lunak seperti prosedur, aturan dsb.) yang bersifat terobosan dan efektif.   Hal ini berhubungan dengan bagaimana kemampuan untuk mengalihkan gagasan kreatif menjadi produk inovasi.  Mengutip pendapat ahli, kreativitas dan inovasi mempersyaratkan karakteristik individu yang berbeda.    Untuk menjadi individu inovatif, selain visionaire dan menciptakan gagasan-gagasan baru, juga kemampuan menginformasikan dan “menjual” secara efektif gagasan tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan, merencanakan proses pengembangannya, dan mengatasi kendala-kendala yang dihadapi.    Suatu kemampuan yang tidak cukup didukung bakat/talenta saja tetapi yang lebih penting adalah hasil pelatihan yang menunjang, pengalaman panjang, kematangan dan pribadi yang “bijak”.    

Diskusi

Setelah diketahui tentang metode berfikir kreatif dan kiat pendekatan dalam mengembangkan kreativitas, kemudian bagaimana implementasinya dalam organisasi ?  Mengulas implementasi tentang kreativitas, maka hal ini akan berkaitan dengan sejauh mana metode dan kiat pendekatan lingkungan dapat diterapkan di dalam organisasi, khususnya Angkatan Udara sebagai organisasi militer.  Mengulas uraian sebelumnya, tentunya dapat disepakati bahwa kreativitas penting untuk dikembangkan, terutama untuk mengantisipasi situasi ambigus dan tak dapat diprediksi atau permasalahan-permasalahan kompleks yang ditimbulkan oleh perubahan dan perkembangan teknologi yang cepat.

Sebenarnya bila diamati secara seksama, metode-metode berfikir kreatif sudah menjadi pokok bahasan dan telah diterapkan di lingkungan Angkatan Udara, terutama di lingkungan pendidikan pengembangan umum maupun dalam kelompok-kelompok kerja khusus.  Hanya saja, tampaknya, belum secara maksimal dapat diaplikasikan baik dalam sikap dan perilaku kerja sehari-hari atau respon organisasi secara keseluruhan.   Seringkali pemecahan masalah yang kreatif dan gagasan-gagasan segar hasil kerja kreatif tidak dimanfaatkan atau belum sepenuhnya dapat  diterima oleh lingkungan maupun organisasi.    Tampaknya memang masih dibutuhkan pribadi-pribadi yang memenuhi kriteria inovatif.

Kepustakaan

Edwards, M.O., (1975).  Doubling Idea Power.  Massachussette  :  Addison-Wesley.
Ellis, H.C. & Hunt, R.R., (1993).  Fundamentals of Cognitive Psychology, 5’th.ed.  LA  :  Wm.C.Brown Communication, Inc.
Klemm, W.R., (1986).  Leadership :  Creativity and Innovation. (Article prepared for AU-24, Concept for Air Force Leadership).
Mason, R.A., (1986).  Innovation and the Military Mind. (Adapted for AU-24 from Air University Review).
Matlin, M., (1983).  Cognition.  New York  :  CBS College Publishing.
Morgan, G., (1986).  Images Organization.  Newbury Park  :  Sage Publication, Inc.
Nasution, A.H., (1990).  Psikologi Militer - Reaksi Terhadap Kehidupan Militer, Majalah Tiara No. 10 Tahun I.
Pusat Psikologi (1976).  Kepemimpinan Militer, Cetakan II.  Bandung  :  Direktorat Jendral Kesehatan TNI Angkatan Udara.

Kamis, 30 Juni 2011

PERAN TES GRAFIS DALAM MENGUNGKAP KECERDASAN EMOSIONAL

Drs. Widura I.M., MSi., Psikolog




Jakarta,

5 - Mei - 1998



Daftar Pustaka

Anastasi, A., (1988). Psychological Testing (6’th.ed). New York : Macmillan Publishing Company.

Brower, D., dan Weider, A., (1959). Projective Techniques in Business and Industry. Dalam, Abt, L.E., dan Bellak, L (Eds). Projective Psychology ; Clinical Approach to The Total Personality. New York : Grove Press, Inc.

Goleman, D., (1997). Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Levy, S., (1959). Figure Drawing as A Projective Test. Dalam, Abt, L.E., dan Bellak, L (Eds). Projective Psychology ; Clinical Approach to The Total Personality. New York : Grove Press, Inc.

Kendall, P.C., dan Norton-Ford, J,D., (1982). Clinical Psychology ; Scientific and Professional Dimensions. New York : John Wiley & Sons, Inc.

Kinget, G.M., (1952). The Drawing Completion Test ; A Projective Technique for The Investigation of Personality. (Terjemahan).

Ogdon, D.P., (1984). Psychodiagnostics and Personality Assessment ; A Handbook (2’nd.ed). Los Angeles : Western Psychological Sevices.

Senin, 06 Juni 2011

FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGI YANG MEMPENGARUHI PERILAKU TIDAK AMAN PENERBANG

Widura Imam Mustopo

Pendahuluan

Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat udara generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan operasional termasuk prosedur pengaturan lalu lintas udara, kedaruratan dalam pendaratan, dll. Hal ini tidak dapat dipungkiri memberikan dampak pada operator, penerbang pada khususnya, untuk lebih memperhatikan berbagai persyaratan kemampuan dan keterampilan yang harus dipenuhi. Faktor manusia menjadi penting terutama pada tuntutan terhadap aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang berhubungan dengan kompleksitas kognitif. Perhatian terhadap aspek psikologi faktor manusia menjadi penting, kegagalan padanya dapat menyebabkan kecelakaan. Oleh karena itu, selama beberapa dekade belakangan ini berbagai upaya terus dilakukan untuk mencegah berulangnya kecelakaan pesawat udara. Namun pada kenyataannya berbagai upaya tersebut tidak menurunkan angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error).

Dari berbagai laporan resmi penyelidikan tentang sebab-sebab kecelakaan dapat digambarkan bahwa angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia relatif tetap besar. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) seperti dilaporkan Jensen dan Bennel (dalam, Orasanu, 1992), menunjukan hampir 75% dari keseluruhan kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents) penerbangan disebabkan karena kegagalan manusia dalam mengoperasikan sistem penerbangan itu sendiri. Sebenarnya dengan berbagai kemajuan teknologi sarana peralatan, prosedur dan inovasi manajemen keselamatan penerbangan yang terus berkembang maka seyogyanya sebab-sebab kecelakaan karena faktor manusia dapat ditekan.

Hal yang sama tampaknya terjadi pula di penerbangan nasional, baik di lingkungan penerbangan sipil maupun militer. Dicurigai bahwa tingginya frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat udara berhubungan dengan sebab-sebab pada faktor manusia. Menurut data yang dihimpun oleh KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi) Departemen Perhubungan RI (Dephub), selama kurun waktu 1988-2003 telah terjadi 497 kali insiden dan kecelakaan penerbangan sipil/komersial di tanah air. Di antaranya terjadi 192 kecelakaan, atau ± 12 kali terjadi kecelakaan per tahun (www.dephub.go.id/knkt/ntsc-aviation/aaic.htm). Dari sumber data yang sama ditemukan bahwa faktor penyebab kecelakaan dari aspek manusia kurang lebih sebesar 35%; faktor gabungan manusia-teknis sebesar 21%; teknis (technical) sebesar 20% sisanya merupakan penyebab dari aspek cuaca (weather), lingkungan (environment) dan hal-hal yang belum teridentifikasi secara jelas (unidentified). Dari laporan Departemen Perhubungan, sejak tahun 2004 sampai dengan 2008 terjadi kenaikan kecelakaan penerbangan nasional sebesar 15,38% pertahun (Departemen Perhubungan, 2008), suatu kenaikan kecelakaan di penerbangan yang cukup besar untuk dijadikan perhatian.

Tidak jauh berbeda dari penerbangan sipil/komersial di tanah air, di lingkungan penerbangan militer khususnya di TNI AU, statistik insiden dan kecelakaan pesawatpun memberikan gambaran yang hampir sama. Statistik kecelakaan penerbangan di TNI AU selama lima tahun sejak 1998 sampai dengan 2003 menunjukan tetap tingginya faktor manusia sebagai penyebab yang terbesar. Dari 20 kecelakaan pesawat udara sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2003, 17 kecelakaan (57%) disebabkan oleh faktor manusia dan 13 kecelakaan (43%) karena faktor material (Dinas Keselamatan Terbang dan Kerja TNI AU, 2007).

Berikut ini akan diulas pendekatan faktor manusia dalam memahami perilaku tidak aman (safety behavior) khususnya di lingkungan penerbang.

Faktor Manusia, Human Error dan Kecelakaan Penerbangan

Secara tradisional, penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara sering diarahkan semata-mata karena kesalahan penerbang (pilot error). Bila membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat (Roscoe, 1980). Disadari atau tidak penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Seperti diketahui lingkungan kerja penerbangan melibatkan teknologi yang tinggi dan menyangkut sistem yang kompleks termasuk pengaturan/prosedur kerja yang ketat. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penyebab kecelakaan pesawat udara tidak mungkin menjadi tanggung jawa penerbang saja. Hampir tidak ada penyebab tunggal terhadap terjadinya kecelakaan pesawat udara. Mengapa seorang penerbang melakukan tindakan tidak aman sehingga terjadi kecelakaan perlu ditelusuri dan diselidiki lebih mendalam, terhadap kemungkinan-kemungkinan faktor-faktor lain sebagai penyebab, baik yang berasal dari orang lain di luar penerbang (pengawas, pemimpin, dan/atau rekan kerja) atau faktor lingkungan fisik tempat kerja, dan manajemen/organisasi.

Pada tahun-tahun belakangan ini, model tindakan tidak aman (unsafe act) yang dikemukakan oleh Reason (1990) yaitu generic cognitive error models telah banyak dimanfaatkan. Reason (1990), disini mengartikan skill-based adalah tindakan yang tak disengaja (unintended), terdiri antara lain slips dan laps, sedangkan tindakan tidak aman yang disengaja (intended) adalah kekeliruan (mistake) terdiri dari rule-based mistake atau knowledge-based mistake dan pelanggaran. Kekuatan model Reason adalah bahwa segmen kesalahan konsisten dengan kategori yang berlaku pada model pemrosesan informasi manusia/human information processing (Hobbs & Williamson, 2003).

Lebih jelasnya, perilaku tidak aman dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam perilaku, yaitu ; salah (error) dan pelanggaran (violation). Kesalahan dibagi menjadi tiga macam kesalahan, yaitu; kesalahan keputusan (rule-based error), kesalahan pada keterampilan (skill-based error), dan kesalahan pengamatan (perceptual error). Sedangkan, pelanggaran muncul dalam bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur, aturan atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas (Reason, 1990 ; Shappell dan Wiegman, 2001, 2004). .

Baik kesalahan maupun pelanggaran, keduanya merupakan bentuk perilaku tidak aman yang bertumpu pada proses individual. Secara historis, sejumlah penelitian tentang keselamatan kerja berfokus pada individu (McKeon, 2004). Psikolog seperti Hollnagel (1993) dan Reason (1990) telah banyak meneliti proses kognitif dalam kaitannya dengan kesalahan manusia. Kesalahan faktor manusia sering diarahkan pada keterbatasan kognisi manusia, seperti terbatasnya daya ingat, dan kapasitas proses informasi/information processing capacity (Reason, 1997). Dalam pendekatan individu, perilaku tidak aman cenderung bersifat atributif seperti individunya pelupa, tidak memperhatikan, atau tidak mampu bahkan lalai. Di lingkungan penerbangan nasional, pendekatan ini masih cukup populer sehingga konsekuensinya kesalahan faktor manusia selalu di letakan pada individu, dalam hal ini penerbang. Bagaimana penanganan kasus kecelakaan pesawat Garuda GA 200 tanggal 7 Maret 2007 di Yogyakarta merupakan contoh nyata bagaimana pendekatan individu masih cukup kental di Indonesia (Kompas, 8 Maret 2008). Individu penerbang dianggap bertanggung jawab atas perilaku tidak aman yang mengakibatkan kecelakaan, oleh karena itu penerbang harus dihukum. Pendekatan ini kurang bermanfaat untuk melakukan intervensi perbaikan manajemen keselamatan disamping itu juga tidak efektif untuk memahami kesalahan sebagai hal yang tak terhindarkan sebagai bagian dari kondisi manusia. Walaupun benar bahwa tindakan tidak aman seseorang berhubungan dengan kemungkinan adanya kelalaian, namun mayoritas orang tidaklah demikian. Sebagian besar orang yang melakukan kesalahan serius adalah mereka para profesional yang umumnya sudah bekerja secara berhati-hati dan berdedikasi untuk melaksanakan pekerjaannya dengan baik (McKeon, 2004). Hal ini menunjukan bahwa pendekatan individual mengisolasi manusia dan perilaku tidak aman dari konteks sistem dia berada (Reason, 1997).

Pendekatan sistem melihat perilaku tidak aman dari sudut yang berbeda. Dalam pendekatan ini, penyebab terbesar timbulnya kesalahan dalam organisasi adalah karena adanya kesalahan sistem atau rancangan dibandingkan karena individu. Pendekatan sistem berkonsentrasi pada kondisi dimana individu bekerja dan berusaha membangun pertahanan-pertahanan untuk mencegah timbulnya perilaku tidak aman dan kesalahan-kesalahan atau mengurangi dampaknya. Kesalahan dilihat sebagai suatu konsekuensi dibandingkan sebagai penyebab. Bila terjadi kesalahan, asumsinya adalah lebih sulit merubah kondisi manusia, tapi lebih mudah merubah kondisi dimana manusia itu bekerja (McKeon, 2004).

Pendekatan sistem berusaha lebih holistik dalam memahami perilaku tidak aman. Pendekatan sistem melihat penyebab munculnya perilaku tidak aman dari berbagai area seperti individunya, tim, tugas, tempat kerja dan lembaga organisasi sebagai keseluruhan (Reason, 2000). Reason (1997) berpendapat bahwa banyak kesalahan merupakan hasil dari berbagai penyebab seperti faktor fisik, kognitif, sosial, dan organisasional. Pendekatan sistem memusatkan perhatiannya pada komponen manusia dalam sistem yang kompleks, kurang menekankan pada individu dan lebih mengedepankan faktor organisasional yang memunculkan kondisi dimana perilaku tidak aman itu terjasi (Reason, 1997). Faktor yang memberikan kontribusi terletak pada beberapa faktor yang saling berhubungan, seperti masalah komunikasi dan supervisi, beban kerja berlebihan, dan/atau kelemahan dalam pelatihan. Bagaimanapun, kegagalan dalam suatu industri yang kompleks membutuhkan pemahaman terhadap beberapa kejadian yang saling berhubungan dalam suatu perangkat yang kompleks menyangkut peran kognitif, sosial, dan organisasional (McKeon, 2004).

Faktor-faktor individual seperti stres, fatigue, dan motivasi yang buruk sering penyebabnya berasal dari lingkungan kerjanya itu sendiri. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap kegagalan bisa karena perhatian yang terganggu, ingatan dipenuhi terlalu banyak fakta, atau penerbangnya stres. Fatigue, stres, dan interupsi merupakan faktor kontribusi yang vital terhadap kegagalan-kegagalan kognitif. Hal-hal tersebut dapat dirangsang oleh faktor-faktor organisasional seperti perencanaan beban kerja yang buruk, bekerja dalam jam kerja yang panjang atau beban kerja berlebihan, hal-hal tersebut membebani secara kuat pada individu, dan selanjutnya kesemuanya ini menuntut konsentrasi yang kuat. Faktor-faktor lingkungan seperti kejadian yang tidak biasa, beban kerja berlebihan, dan situasi stressful akan menekan individu dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan (McKeon, 2004). Selain itu, stres waktu secara khusus juga merupakan penyebab yang kuat untuk terjadinya kekeliruan (mistakes) pada level rule-based dimana orang-orang biasanya tetap menggunakan ingatannya atau menggunakan aturan/prosedur yang ia tahu walaupun sebenarnya mereka salah (Reason, 1990).

Sebagai tambahan, kegagalan di tingkat sosial dan organisasi dapat terjadi bilamana manajemen atau organisasi tidak menciptakan budaya keselamatan (Reason, 1997). Contohnya, prosedur-prosedur operasional yang normal mungkin saja telah dirancang dan didokumentasikan dengan baik, tetapi tidak pernah di enforced terhadap kelemahan budaya. Dinamika kelompok dan budaya organisasi memainkan peran dalam menentukan bagaimana keselamatan secara efektif dikelola (Neal & Grifin, 2002). Cox dan Flin (dalam Gadd dan Collins, 2002) menyebutkan bahwa iklim keselamatan dapat dilihat sebagai indikator psikologis dari budaya keselamatan dalam suatu waktu tertentu. Dan iklim keselamatan ini dapat diindikasikan dari norma, nilai-nilai, sikap dan persepsi terhadap keselamatan. Jadi, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari iklim keselamatan.

Tindakan Tidak Aman Model Reason

Pada tahun-tahun belakangan ini model tindakan tidak aman yang dikemukakan oleh Reason (1990) yang dikenal dengan generic cognitive error models banyak digunakan. Model ini merupakan pengembangan dari model Reason tahun 1987 sebelumnya yang disebut generic error modeling system (GEMS), konsep Rasmussen tahun 1983 tentang skill-rule-knowledge (SRK), dikotomi slip/mistake dari Norman (1981), dan juga termasuk pelanggaran (violations) aturan sebagai hal yang berbeda dengan tindakan tidak aman. Walau Reason (1990) mengatakan bahwa pelanggaran tidak selalu dapat dimasukan. Mengikuti pendapat Reason (1990), skill-based, atau tak disengaja (unintended), tindakan tidak aman mengambil bentuk slips dan laps, sedangkan tindakan tidak aman yang termasuk disengaja (intended) terdiri dari rule-based atau knowledge-based mistakes dan pelanggaran. Kekuatan model Reason adalah bahwa segmen kesalahan konsisten dengan katagori model pemrosesan informasi manusia/human information processing (Hobbs & Williamson, 2003).

Walaupun pakar teori kesalahan seperti Rasmussen (1983) dan Reason (1990) tidak bertujuan untuk menjelaskan konsep perkembangan keterampilan, namun taksonomi tersebut secara jelas mengungkap perbedaan penting antara level-level kendali kognitif individu dengan situasi yang secara secara intensif telah dikenal dan dapat diprediksi (Hobbs & Williamson, 2003). Taksonomi Reason (1990) telah digunakan secara luas untuk menganalisis kasus kecelakaan maupun dikembangan khususnya dalam menjembatani antara model Reason yang teoritik dengan aplikasi di lapangan dalam rangka penyelidikan kecelakaan maupun manajemen keselamatan (Shappell dan Wiegman, 2001).

Dalam satu penelitian terhadap beberapa penyelidikan kecelakaan pesawat udara, Shappell dan Wiegman (2001) melalaui model Reason yang ia kembangkan, ditemukan bahwa kesalahan keterampilan (skill-based errors) merupakan yang terbanyak, diikuti kekeliruan keputusan (mistaken decision) baik rule-based maupun knowledge-based (Hobbs & Williamson, 2003).

Pendekatan Kognitif pada Kesalahan Manusia

Psikolog seperti Hollnagel (1993) dan Reason (1990) telah meneliti tentang proses kognitif dalam kesalahan manusia. Bila ditelusuri, kesalahan yang dilakukan individu pada dasarnya berakar pada keterbatasan kognisi manusia, seperti terbatasnya daya ingat, dan kapasitas proses informasi/information processing capacity (Reason, 1997).

Sejumlah pengertian yang menyangkut kesalahan manusia sudah banyak dipublikasikan terutama yang dikenal dengan istilah kesalahan kognitif (cognitive errors) oleh Reason (1990), dan Rasmussen (1982). Walaupun arah psikologis dari pengertian tersebut tidak serta merta dapat digunakan untuk menentukan sebab terjadinya kecelakaan, namun pengertian tersebut cukup membantu untuk memahami mekanisme kognitif yang mendasari terjadinya kesalahan manusia (Shappell dan Wiegman, 2001, 2004 ; McKeon, 2004).

1. Level Kinerja (Performance) Manusia

Memahami perbedaan level kinerja yang terjadi pada fungsi kognitif dapat membantu menjelaskan ”mengapa” kesalahan bisa terjadi. Untuk itu perlu sebelumnya dipahami bagaimana seseorang dapat menguasai suatu keterampilan dan selanjutnya diimplementasikan untuk mencapai kinerja yang optimal.

Umumnya, untuk mencapai kinerja yang dibutuhkan dalam menguasai tugas tertentu, orang akan melalui tiga tahap pembelajaran sejak ia mulai mempelajari suatu tugas sampai dengan tahap ia menjadi ahli atau terampil, yaitu level kognitif, level asosiatif, dan level otonom (Rasmussen, 1982 ; Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Level kognitif disebut juga level pengetahuan (knowledge-based level), mempersyaratkan pentingnya daya ingat, penalaran atau berfikir. Setelah semua tugas dapat difahami, berikutnya adalah tahap asosiatif. Pada tahap ini, declarative knowledge pada level pengetahuan diganti dengan procedural knowledge atau disebut juga level aturan (rule-based level). Dan terakhir, adalah level otomatisasi yang disebut level terampil (skill-based level). Ke tiga level kinerja ini untuk meningkatkan familirisasi dengan lingkungan dan tugas (Reason, 1990).

Level pengetahuan merupakan tahap dimana penerbang belajar memahami semua tugas yang dibutuhkan. Pengetahuan (knowledge) diperlukan karena orang belum tahu tentang materi atau situasi atau tugas yang harus dilakukan, belum ada latihan atau prosedur yang dihafalkan (Reason, 1990). Pada pelaksanaannya, di level ini orang tidak hanya menerapkan hasil belajar tentang materi atau tugas secara teoritis, tapi juga bagaimana melaksanakan tindakan motorik secara efisien, efektif, dan akurat (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Dalam mempelajarinya dan melaksanakannya, semua tindakan melalui proses analisis yang dilakukan secara sadar termasuk pengetahuan yang disimpan atau diingat. Pada kondisi kesadaran ini dipersyaratkan adanya usaha, dan juga kapasitas tertentu, sehingga cenderung untuk terjadi kesalahan (Reason, 1977).

Kinerja pada level aturan digunakan ketika prosedur yang telah diingat akan digunakan untuk memecahkan masalah yang sudak dikenal, namun bukan bersifat rutin, contohnya, ”bila” situasi ini terjadi, ”maka” lakukan tindakan ini (Reason, 1997). Situasi tersebut biasanya sudah pernah ditemui sebelumnya, atau pernah dilatihkan, atau ada prosedur yang harus dilakukan (McKeon, 2004). Dari sudut pembelajaran, pada level ini seperti telah disinggung sebelumnya, declarative knowledge pada level kognitif diganti dengan procedural knowledge atau dikenal dengan level aturan (Reason, 1990). Tugas-tugas atau materi yang ia terima dan disimpan pada level kognitif dipraktekan secara runtut melalui latihan yang terkontrol untuk menekan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam mengembangkan kinerja optimal (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). .

Terakhir adalah level otonom yang disebut level terampil. Pada level ini, latihan yang lebih intensif diperlukan untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis dalam mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Level terampil pada kinerja diaplikasikan melalui aktivitas rutin dan terpola (Reason, 1990). Pada penerapannya pada level kinerja ini, tindakan dilakukan secara otomatis, cepat, dan membutuhkan usaha kesadaran yang tidak besar.

Memahami ketiga level kinerja seperti diuraikan di atas dapat membantu mengklasifikasikan variasi mengapa orang melakukan kesalahan.

2. Kesalahan (error)

Kesalahan didefinisikan sebagai kegagalan (failure) bertindak sesuai rencana dalam mencapai hasil yang diinginkan (Reason, 1990, 1997). Kesalahan dapat terjadi dalam bentuk slip, lapses, dan keliru (mistake). Slips terjadi bila intensi dieksekusi dalam suatu tindakan yang tidak tepat, dan lapses adalah kegagalan bertindak sesuai ketentuan (Reason, 1990). Slips secara potensial dapat diamati (observable) dan sering disebabkan oleh faktor-faktor seperti ”grasa-grusu” atau terburu-buru, dan perhatian yang terbagi (Hudson, 2000). Lapses, di pihak lain, berhubungan dengan hal yang tak terlihat secara kasat mata seperti kegagalan mengingat dan sering hanya individu yang bersangkutan yang tahu. Baik slips dan lapses terjadi pada level terampil (Rasmusen, 1982). Kesalahan pada level terampil ini termasuk kegagalan yang disebabkan individu tidak memperhatikan (lack of attention) dan keliru memperhatikan (misallocation of attention). Beberapa penyebab eksternal antara lain; interupsi, gangguan selingan (distraction), dan kejadian yang munculnya tak terduga (McKeon, 2004). Pada umumnya slips tidak mengakibatkan kefatalan karena seringkali dapat dideteksi dengan cepat oleh individu. Sebaliknya lapses yang dapat mengakibatkan kegagalan bertindak, lebih sulit dideteksi. Sehingga dengan alasan ini lapses dapat dikatakan lebih berbahaya dibandingkan slips.

Kekeliruan (mistakes) perdefinisi diartikan sebagai kesalahan dalam membentuk intensi atau dalam memilih suatu strategi untuk mencapai tujuan (Reason, 1990). Kekeliruan ini melibatkan kelemahan dalam daya timbang (judgement) dan/atau adanya kelemahan dalam proses mengambil kesimpulan ketika memilih sasaran. Rasmussen (1982) menyebutkan, kekeliruan dapat terjadi pada level aturan (rule-base level) ataupun pada level pengetahuan (knowledge-base level). Pada level aturan, kekeliruan dapat terjadi karena penerapan yang salah dari suatu aturan yang baik, menerapkan suatu aturan secara tidak tepat, atau gagal untuk menerapkan suatu aturan yang baik. Aturan yang baik namun salah dalam menerapkannya dapat disebabkan oleh masalah rekognisi, contohnya bila terjadi informasi yang berlebihan (overloading) akan menghambat rekognisi. Dan hal ini dapat terjadi karena adanya variasi baru dari masalah yang sudah dikenal dan/atau pelatihan yang buruk (McKeon, 2004).

Pada level pengetahuan, tidak terdapat aturan dalam pemecahan masalah dan individu dipaksa untuk berfikir dengan sumberdaya yang terbatas karena situasinya baru. Hal ini membuat situasi sangat peka untuk terjadinya kesalahan (Reason, 1997). Kekeliruan pada level pengetahuan dapat terjadi karena orang menghadapi situasi baru, kemungkinan situasi kedaruratan yang menuntut proses analisis secara sadar dan adanya pengetahuan (McKeon, 2004).

Sebagian besar kesalahan terjadi pada level terampil, selanjutnya diikuti oleh level aturan, dan kemudian level pengetahuan (Lawton & Parker, 1998). Hal ini dapat dijelaskan karena hampir semua tindakan orang dewasa memiliki komponen keterampilan, sehingga apa yang dilakukan sebagian besar berada pada level otomatis. Kesalahan pada level terampil lebih mudah dideteksi oleh individu, sedangkan kekeliruan pada level aturan dan pengetahuan lebih sulit dideteksi (Reason, 1990). Kekeliruan diwaspadai lebih berbahaya dibandingkan slips dan lapses karena individu yang melakukan kekeliruan berfikir bahwa dia melakukan tindakan yang benar. Bukti yang menunjukan bahwa tindakannya keliru sering diabaikan karena yang bersangkutan yakin bahwa tindakannya benar (Hudson, 2000).

3. Pelanggaran dan Kontribusi Sosial/Psikologis Terhadap Kesalahan

Pelanggaran didefinisikan sebagai perilaku yang sengaja menyimpang dari aturan yang dibuat untuk keselamatan atau metode yang disepakati dalam mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan (Reason, 1990). Perilaku pelanggaran ini biasanya berhubungan langsung dengan bagaimana orang beradaptasi terhadap situasi dimana ia berada dan menjadi anggota sosial dimana perilaku tersebut diatur oleh prosedur, cara bertindak (codes of practices), dan aturan-aturan (Hudson, 2000).

Secara konseptual, batas antara kesalahan dan pelanggaran tidak selalu jelas sebagaimana terlihat pada kedua tindakan tersebut yang sebenarnya sama-sama menyimpang dari standar kinerja yang ditentukan (Reason, 1997 ; Shappell dan Wiegman, 1997). Reason mengidentifikasikan pelanggaran sebagai bentuk kekeliruan aturan (rule-based mistake) berupa kegagalan dalam menerapkan aturan yang baik. Dia berpendapat bahwa aturan dapat dilanggar dengan berbagai macam alasan dan sesuai intensitasnya dapat diklasifikasikan dan dibedakan pada beberapa macam perilaku. Sebagai contoh, bila sebelumnya tidak ada niat secara khusus untuk melakukan pelanggaran maka perilaku tersebut dapat diklsifikasikan sebagai kesalahan. Tapi bila pelanggaran itu disengaja dan ada niat untuk membuat kerusakan pada sistem, perilaku ini diklasifikasikan sobatase. Bila tidak terdapat niat untuk merusak, maka perilaku tersebut adalah pelanggaran (Reason, 1990).

Hudson (2000) berpendapat bahwa pelanggaran lebih berbahaya dibandingkan kesalahan (slips, lapses, dan keliru/mistake) karena dalam pelanggaran terdapat niat dan kesengajaan untuk tidak mematuhi prosedur keselamatan atau prosedur lainnya. Hudson sependapat dengan Reason dan ahli-ahli lainnya yang mempercayai bahwa pertanyaan tentang bagaimana niat suatu perilaku dapat membedakan antara kesalahan dan pelanggaran (McKeon, 2004).

Dalam suatu ulasan berbagai penelitian yang menyelidiki pengaruh faktor-faktor kepribadian, faktor-faktor kognitif, dan faktor-faktor sosial terhadap kecelakaan, Lawton dan Parker (1998) mengemukakan bahwa terdapat dua kemungkinan arah untuk meneliti kecelakaan, bisa dari kesalahan dan/atau pelangaran. Mereka berpendapat, kesalahan terutama berhubungan dengan faktor-faktor kognitif, dan palanggaran berkaitan dengan faktor-faktor sosial/psikologis. Seperti dikatakan oleh Reason (1990) bahwa pelanggaran dapat dijelaskan melalui faktor-faktor sosial dan motivasional. Misalnya, orang melanggar karena ingin bekerja lebih efisien atau karena semua orang juga melakukannya. Berbeda dengan kesalahan, yang melibatkan ciri-ciri pemrosesan informasi individu yang menyangkut kegagalan pada kemampuan kognitif, seperti gagal memberikan perhatian secara efektif sebagai hasil pelatihan yang tidak adekuat, kebiasaan yang buruk, atau distraksi. Adanya perbedaan pada hal-hal tersebut akan memberikan konsekuensi strategi perbaikan yang diperlukan berbeda, yaitu perbaikan di aspek kognitif atau motivasi. Latihan keterampilan akan bermanfaat untuk mengurangi kesalahan, tentunya tidak terlalu bermakna bila sasarannya mengurangi perilaku melanggar. Mengurangi perilaku pelanggaran lebih cocok bila penyelidikan diarahkan pada faktor motivasional dan sikap individu sebelum terjadi kecelakaan (McKeon, 2004).

Budaya Keselamatan dan Iklim Keselamatan

Menurut Helmreich (1999), bagi penerbang setidaknya terdapat tiga budaya yang bekerja untuk membentuk sikap dan tindakannya, yaitu; budaya nasional, budaya profesional, dan budaya organisasi. Ketiga macam budaya tersebut erat pengaruhnya terhadap aktivitas penerbang sehari-hari sebagai anggota suatu organisasi. Oleh karenanya, ketiga budaya tersebut penting di dalam cockpit mengingat pengaruhnya terhadap perilaku penerbang ketika bekerja. Budaya organisasi penerbangan yang melibatkan teknologi tinggi dan menerapkan organisasi kerja yang sangat terstruktur, sistemik, dan terkontrol merupakan kerangka dimana di dalamnya budaya nasional dan budaya profesi (penerbang, teknisi, dll.) saling berinteraksi. Kondisi ini dipercaya membangun budaya keselamatan (safety culture) dan selanjutnya membentuk sikap dan perilaku terhadap keselamatan penerbangan (Heilmreich, 1999; Cooper, 2000).

Terdapat tiga komponen utama dalam budaya keselamatan, yaitu; komponen psikologis, komponen situasional, dan komponen perilaku (Gadd & Collins, 2002). Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya; kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb. Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk disini perilaku keselamatan dan perilaku tidak aman. Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety climate) yang menyangkut norma, nilai-nilai, persepsi dan sikap terhadap keselamatan. Sejumlah ahli mengemukakan bahwa iklim keselamatan dapat dilihat sebagai indikator dari budaya keselamatan suatu organisasi yang diamati oleh anggota/karyawan dalam suatu waktu tertentu (Cox & Flin, dalam Gadd & Collins, 2002)

1. Iklim Keselamatan dan Perilaku Tidak Aman

Dalam studi iklim keselamatan, sejumlah peneliti berusaha mengkatagorikan variabel-variabel iklim keselamatan untuk mengkonstruk model dalam rangka menjelaskan interaksi antar variabel tersebut. Pada umumnya pengkatagorian variabel-variabel yang ada diorganisasikan mengikuti level atau tingkat dimana variabel tersebut berpengaruh. Jadi, variabel-variabel yang ada diklasifikasikan apakah berada di level organisasi, kelompok, atau individu. Sebagai contoh, Fogarty et al. (2001) mengembangkan suatu model untuk menjelaskan penyebab kesalahan (error) dalam pemeliharaan pesawat udara. Dengan menggunakan structural equation model (SEM), penyelidikan dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel organisasional, jabatan pekerjaan (job), dan individu terhadap terjadinya kesalahan. Hasilnya menunjukan bahwa efek dari faktor-faktor di level organisasional terhadap terjadinya kesalahan (error) dimediasi oleh faktor-faktor di level individual, seperti kondisi kesehatan dan stres. Studi lainnya dilakukan untuk meneliti penyebab terjadinya pelanggaran (violation) pada juru langsir kereta api di Inggris (Lawton, dalam Fogarty & Shaw, 2003). Walaupun variabel akibat yang diteliti berbeda (kesalahan vs pelanggaran), namun kedua model memperlihatkan kesamaan bahwa variabel di tingkat individual merupakan mediator hubungan antara faktor-faktor organisasional dengan perilaku tidak aman. Fogarty dan Neal (2002) menggabungkan kedua variabel dalam penelitiannya terhadap penyebab terjadinya kesalahan dan pelanggaran di industri konstruksi. Laporan penelitiannya mengungkapkan bahwa variabel iklim keselamatan dapat memprediksi kesalahan, dimana variabel di tingkat individual memprediksi kesalahan. Konstruk-konstruk psikologi yang saling berkaitan sebenarnya dapat disusun dan dilakukan untuk menjelaskan model iklim keselamatan (Fogarty & Shaw, 2003). Misalnya, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya atau iklim keselamatan.

Dalam studi iklim keselamatan terdapat satu variabel yang juga penting, yaitu; sikap manajemen terhadap keselamatan. Dalam suatu studi tentang iklim keselamatan, dilaporkan bahwa persepsi karyawan mengenai sikap manajer terhadap keselamatan merupakan prediktor yang sangat penting (Zohar, 1980). Dalam studi iklim keselamatan, sikap manajemen terhadap keselamatan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku melanggar. Sikap manajemen dapat mempengaruhi perilaku pelanggaran melalui sikap individu terhadap pelanggaran, norma subjektif atau norma kelompok tentang keselamatan, perceived control atau kontrol yang dipersepsikan individu sebagai tekanan di tempat kerja untuk tidak melakukan pelangaran.

Penutup

Demikianlah telah diulas secara selintas, mengenai pemahaman dasar perilaku tidak aman penerbang dalam konteks faktor manusia dan human error. Sebagaimana telah disinggung, hal yang terpenting studi keselamatan penerbangan adalah memahami human error dalam konteks manusia dimana faktor-faktor psikolo terlibat di dalamnya termasuk budaya yang berlaku di organisasi maupun budaya profesi penerbang itu sendiri.

Kepustakaan

Ajzen, I., (1988). Attitudes, Personality, and Behaviour. Milton Keynes: Open University.

Alper, S.J., and Kars, B.T., (2009). A Systematic Review of Safety Violations in Industry. Accident Analysis and Prevention, 41, 739-754.

Anfield, J., (2007). People and Error: Human Factors Principle in Safety Critical Industries. Organization Development Journal, 25(4), 39-47.

Baker, S.P., Qiang, Y., Rebok, G.W., and Li, G., (2008). Pilot Error in Air Carrier Mishaps: Longitudinal Trends Among 558 Reports, 1983-2002. Aviation, Space, and Evironmental Medicin, 79(1), 2-6.

Cooper, D., (2001). Improving Safety Culture: A Practical Guide. Hull: Applied Behavioural Science.

Cooper, M.D., (2000). Towards a Model of Safety Culture. Safety Science. 36(2), 111-136.

Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London: Tri-Med Books Ltd.

Departemen Perhubungan R.I., (2008). Statistik Perhubungan, Buku I. Jakarta: Departemen Perhubungan Republik Indonesia.

Dinas Keselamatan Terbang dan Kerja, (2007). Laporan Insiden dan Kecelakaan Penerbangan TNI Angkatan Udara. Jakarta: Markas Besar Angkatan Udara.

Falconer, B.T., (2006). Attitudes to Safety and Organisational Culture In Australian Military Aviation. A Thesis Submitted in Fulfilment of The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. New South Wales: University of New South Wales, Departement of Aviation.

Fogarty, G.J., Saunders, R., and Coolyer, R., (2001). The Role of Individual and Organizational Factors in Aviation Maintenance. Paper presented at the Eleventh International Symposium on Aviation Psychology, Colombus Ohio.

Fogarty, G.J., and Neal, T., (2002). Explaining Safety Violations and Errors in the Construction Industry. XXV International Congress of Applied Psychology, Singapore, July 7-12.

Fogarty, G.J., and Shaw, A., (2003). Safety Climate and the Theory of Planned Behaviour: Towards the Prediction of Unsafe Behaviour. In 5th Australian Industrial and Organizational Psychology Conference, 26-29 June 2003, Melbourne, Australia. (Unpublished).

Gadd, S., Collins, A.M., (2002). Safety Culture: A Review of The Literature. Broad Lane, Shefield: Health & Safety Laboratory.

Helmreich, R.L., (1999). Building Safety in The Three Cultures of Aviation. In The Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.

Hobbs, A., and Williamson, A., (2002). Unsafe Acts and Unsafe Outcomes in Aircraft Manitenance. Ergonomics, 45(12), 866-882.

Hobbs, A., and Williamson, A., (2003). Associations between Errors and Contributing Factors in Aircraft Maintenance. Human Factors, 45(2), 186-201.

Hopkins, A., (2006). Studying Organisational Culture and Their Effects on Safety. National Research Centre for OHS Regulation ANU.

Hudson, P.T.W., (2000). Safety Culture and Human Error in The Aviation Industry: In Search of Perfection. In, B.J. Hayward & A.R. Lowe (Eds). Aviation Resource Management (Vol. 1, pp. 19-31). Burlington, Vermont: Ashgate.

Hudson, P., (2001). Aviation Safety Culture. Leiden: Centre for Safety Science.

Kusnendi, (2005). Konsep dan Aplikasi Model Persamaan Struktur (SEM) dengan Program Lisrel 8. Bandung: Badan Penerbit Jurusan Pendidikan (JPE) FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Lawton, R., & Parker, D., (1998). Individual Differences in Accident Liability: A Review and integrative Approach. Human Factors, 40(4), 655-671.

Lenne, M.G., Ashby, K., and Fitzharris, M., (2008). Analysis of General Aviation Crashes in Australia Using the Human Factors Analysis and Classification

McKeon, C.M., (2004). Psychological Factors Influencing Unsafe Behavior During Medication Administration. Dissertation for the Award of Doctor of Philosophy. University of Southern Queensland.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2002). Safety Climate and Safety Behavior. Australian Journal of Management, 27, 67-75.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2006). A Study of The Lagged Relationship Among Safety Climate, Safety Motivation, Safety Behavior, and Accidents at The Individual and Group Levels. Journal of Applied Psychology, 91(4), 946-953.

O’Connor, P., O’Dea, A., and Melton, J., (2007). A Methodology fo Identifying Human Error in U.S. Navy Diving Accidents. Human Factors, 49(2), 214-226.

O’Hare, D., (2006). Cognitive Functions and Performance Shaping Factors in Aviation Accidents and Incidents. The International Journal of Aviation Psychology, 16(2), 145-156.

Orasanu, J.M., (1992). Shared Problem Models and Flight Crew Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan, Fuller, R. (Eds). Aviation Psychology in Practice. Vermont: Ashgate Publishing Company.

Patankar, M.S., (2003). Study of Safety Culture at an Aviation Organization. International Journal of Applied Studies. 3(2), 243-255.

Rasmussen, J., (1982). Human Errors: A Taxonomy For Describing Human Malfunction In Industrial Installations. Journal of Occupational Accidents, 4, 311-335.

Reason, J., (1990). Human Error. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Reason, J., (2000). Managing The Risks of Organizational Accidents. Aldershot, UK: Ashgate Publishing.

Reason, J., (1997). Human Error: Models and Management. British Medical Journal, 320, 768-770.

Roscoe, S.N., (1980). Concept and Definition. Dalam Stanley N. Roscoe (ed.), Aviation Psychology. Ames: The Iowa State University Press.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (1997). A Human Error Approach to Accident Investigation: The Taxonomy of Unsafe Operations. The International Journal of Aviation Psychology, 7(4), 269-291.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2001). Applying Reason : The Human Factors Analysis and Classification System (HFACS). Human Factors and Aoerospace Safety, 1 (1), 59-86.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2004). Department of Defense Human Factors Analysis and Classification System: A Mishap Investigation and Data Analysis Tool (DoD HFACS). Washington, DC.: DoD.

Shappell, S.A., Detwiler, C., Holcomb, K., Hackworth, C., Boquet, A., and Wiegmann, D.A., (2007). Human Error and Commercial Aviation Accidents: An Analysis Using the Human Factors Analysis and Classification System. Human Factors, 49(2), 227-242.

Soeters, J.L., and Boer, P.C., (2000). Culture and Flight Safety in Military Aviation. The International Journal of Aviation Psychology. 10(2), 111-133.

Wiegmann, D.A., and Shappell, S.A., (2009). Human Error Perspectives in Aviation. The International Journal of Aviation Psychology, 11(4), 341-357.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Gibbons, A.M., (2004). Safety Culture: An Integrative Review. The International Journal of Aviation Psychology, 14(2), 117-134. Illinois: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Mitchell, A.A., (2002). A Synthesis of Safety Culture and Safety Climate Research. Tchnical Report ARL-02-3/FAA-02-2. Prepared for Federal Aviation Administration Atlantic City International Airport, NJ. Illinois: University of Illinois.