Widura IM
Yet without such visionaries
and without innovation, a nation’s way of war becomes predictable ; and
predictable means vulnerable.
Air Vice-Marshal R.A. Mason, RAF
Air Vice-Marshal R.A. Mason, RAF
Pendahuluan
Model
pembinaan di lingkungan militer yang umumnya menekankan stimulasi pada aspek
prosedur, ketaatan azas, dsb. serta gaya
komunikasi bersifat instruksional dan satu arah sebenarnya tidak salah, namun memang
kurang efektif bila diterapkan untuk mengembangkan fungsi-fungsi berfikir yang
mengarah pada gagasan-gagasan kreatif.
Untuk tujuan pengkondisian atau pembentukan perilaku, model pembinaan
dan gaya komunikasi
tersebut cukup efektif dan tetap diperlukan.
Tetapi bila tujuan diarahkan untuk mengembangkan pola berfikir kreatif,
diperlukan penyesuaian metode pembbinaan yang dapat merangsang fleksibilitas
dalam berfikir.
Kreativitas merupakan potensi yang
sulit dikembangkan bila pola dan metode pembinaan menekankan pada cara-cara
instruksional dan satu arah. Diperlukan
pengembangan metode, bahkan mungkin penyesuaian lingkungan yang dapat
memfasilitasi berkembangnya kreativitas.
Berkaitan dengan pengembangan sumberdaya manusia di lingkungan militer,
permasalahannya adalah apakah kreativitas cocok dan diperlukan di lingkungan
militer yang secara universal menganut nilai-nilai konservatif dan corak
berfikir konvensional.
Untuk itu perlu dikaji sejauh mana
sebenarnya kreativitas diperlukan di dunia militer dan bila diperlukan
bagaimana kiat mengembangkan kreativitas tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar
kemiliteran. Untuk maksud tersebut
tulisan ini akan mengulas kreativitas dan dunia militer sebagai latar belakang,
kreativitas dalam hubungannya dengan proses berfikir dan aspek-aspek psikologis
yang menyertainya, serta pendekatan untuk mendorong munculnya kreativitas. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai saran
memecahkan permasalahan yang ada, namun lebih ditujukan sebagai informasi untuk
meluaskan wacana pengetahuan yang berhubungan dengan kreativitas khususnya di
lingkungan militer khususnya di Angkatan
Udara.
Kreativitas dan Dunia Militer
Adalah suatu hal yang menarik untuk
mengulas kreativitas di lingkungan militer.
Sebenarnya sejauhmana kreativitas ini diperlukan? dan bila diperlukan, bagaimana
mengembangkannya? Karena tak dapat
dipungkiri bahwa nilai-nilai dasar budaya militer secara universal mengarah
pada konservatisme dengan sistem organisasi yang mekanistik. Suatu lingkungan yang menganut nilai dan
sistem yang menekankan keseragaman, hirarki, konformitas dan kepatuhan, top down communication, dan tidak
mentolerir tindakan-tindakan di luar prosedur. (Morgan, 1986 ; Nasution,
1990) Nilai-nilai yang tampaknya tidak
memungkinkan untuk munculnya tindakan-tindakan yang didukung kreativitas.
Sesuai tugasnya, personil militer
disiapkan untuk menghadapi medan
peperangan yang penuh dengan risiko bahaya.
Untuk itu dibutuhkan organisasi dan sistem yang dapat menjamin tugas dan
tanggung jawab yang jelas, ketepatan bertindak, serta keselamatan. Sejarah kemiliteran menunjukan bahwa sistem
organisasi yang mekanistik, pada titik tertentu, dapat memberikan jaminan
tersebut. Dari aspek sosiobilitas dalam
organisasi militer, konformitas, konsistensi dan kerjasama telah lama menjadi
unsur-unsur yang dianggap penting untuk membangun semangat dan kepercayaan di
antara para anggota satuan.
Ketergantungan yang saling menguntungkan (mutual dependency) di antara anggota satuan biasanya membutuhkan
koordinasi, kerjasama dan kedisiplinan. Dapat dikatakan satuan-satuan dalam organisasi
kemiliteran menganut pola tersebut. Namun disisi lain,
tuntutan koordinasi dan kerjasama yang kuat cenderung menghambat tindakan
mandiri dan inisiatif. Pengalaman
menunjukan ketidak mampuan mengambil inisiatif dan bertindak mandiri
menghasilkan situasi yang tak menguntungkan terutama dalam menghadapi kondisi
ambigus dan perubahan situasi yang tak terduga. Situasi-situasi seperti ini tentunya
menuntut kemampuan adaptasi dan inisiatif sekaligus kemampuan memecahkan
permasalahan-permasalahan kompleks yang ditimbulkannya. Suatu situasi dimana tuntutan koordinasi dan
konformitas sering tidak menguntungkan dan organisasi dengan sistem mekanistik
sering menemui keterbatasannya. (Klemm, 1986 ; Morgan, 1986)
Memecahkan
permasalahan dalam kondisi ambigus dan perubahan situasi tak terduga, membuat
seseorang tidak cukup dibekali teori, prosedur atau cara bertindak berdasarkan
paradigma konvensional. Seringkali
diperlukan kemampuan pemecahan masalah yang khas, tidak biasa namun efektif,
yaitu kreativitas. Kondisi yang sama sebenarnya terjadi juga dalam menghadapi
perkembangan teknologi yang sangat cepat dewasa ini. Dan yang menarik, produk teknologi yang
berkembang cepat tersebut sebagian besar digunakan di lingkungan militer. Kondisi yang menuntut individu untuk mampu
beradaptasi dengan cepat dalam menghadapi dan menyiasati perubahan teknologi
dan menguasai teknologi itu sendiri termasuk permasalahan yang
ditimbulkannya.
Angkatan Udara
sebagai organisasi militer dengan kekhasan padat teknologi, diproyeksikan untuk
menghadapi situasi perang tetapi juga sekaligus pengguna produk teknologi
dimana perkembangannya tidak jarang mendahului kesiapan personilnya dalam
menguasainya. Pada perang konvensional,
asumsi seorang komandan lebih didasarkan atas informasi tentang disposisi
satuan-satuannya dan keyakinannya bahwa satuan-satuannya akan bertindak sesuai
perintah dan sesuai dengan apa yang telah mereka peroleh selama latihan. Sedangkan perang modern, khususnya peperangan
udara, pertempuran lebih merupakan agregat dari sumberdaya (resources) dan satuan-satuan yang saling
bergantung ; seperti ketepatan waktu dalam penempatan orang, pesawat,
kesenjataan, komunikasi, dan dukungan logistik untuk mencapai konsentrasi
kekuatan secara penuh sesuai kebutuhan agar operasi dapat dilaksanakan dengan
meyakinkan. Ditinjau dari sudut pandang
ini, apakah kreativitas tidak diperlukan di Angkatan Udara ?
Kondisi-kondisi
yang diuraikan sebelumnya jelas membutuhkan kesiapan personil. Disamping tetap mempertimbangkan pentingnya
nilai-nilai kemiliteran yang berlaku umum juga perlu mengembangkan kreativitas
secara proporsional untuk menyiasati perkembangan teknologi beserta dampaknya
pada taktik dan strategi militer Itu
sendiri. Seperti dikatakan oleh seorang tokoh air power, Air Vice-Marshal
R.A. Mason (1986), aspek perilaku yang muncul sebagai konsekuensi dari
nilai-nilai kemiliteran tidak harus dipertentangkan dengan perilaku yang
menyertai kreativitas, keduanya harus dapat saling melengkapi (complementary). Terpenting adalah bagaimana mengembangkan
kreativitas untuk membangun kemampuan personil dan organisasi militer yang
menyeluruh agar siap menghadapi peperangan modern.
Kreativitas dan Proses Berfikir
Kreativitas umumnya berkaitan dengan
gagasan-gagasan original dan praktis, yang relevan untuk memecahkan
suatu masalah. Penyelidikan
tentang pemecahan masalah secara kreatif
berupaya untuk mendapatkan gambaran bagaimana gagasan original dan praktis
ini muncul. Individu sebenarnya tidak
terlalu kesulitan untuk memunculkan gagasan yang original, biasanya yang lebih sulit adalah mengeluarkan gagasan
yang original tapi juga praktis. Gagasan yang
original namun tidak praktis tak memenuhi kriteria kreativitas. Gagasan seperti itu tidak realistik dan lebih
bersifat khayalan. Seperti penderita
gangguan “psikotik”, mereka juga memunculkan gagasan original namun hal itu merupakan produk dari gangguan proses
berfikir.
Gagasan-gagasan original yang tidak biasa atau tidak
umum, sering bertentangan dengan gagasan-gagasan lama. Kerapkali gagasan-gagasan tersebut sulit
diterima lingkungan terutama oleh lingkungan yang menganut nilai-nilai konservatif. Namun demikian, gagasan-gagasan kreatif
selalu bermanfaat dan efektif untuk memecahkan masalah-masalah yang
kompleks. Matlin (1983), mengartikan
kreativitas sebagai kemampuan untuk menemukan pemecahan masalah yang tidak
biasa (unusual) dan bermanfaat (useful).
Seringkali
orang-orang yang penuh dengan gagasan-gagasn original dipadankan dengan orang yang tidak tahu aturan, maunya
sendiri, aneh, dsb. Studi mengenai
orang-orang kreatif ternyata memang melaporkan adanya kecenderungan tentang beberapa
karakteristik kepribadian mereka yang khas. Mereka umumnya digambarkan sebagai
individu yang memiliki kecenderungan individualistik dan mandiri, agak
introvert, konformitasnya rendah, intuitif, dan berpusat pada diri sendiri. (Ellis
& Hunt, 1993) Dari sudut pandang aspek karakteristik
kepribadian, memang agak sulit untuk dapat memandang mereka sesuai dengan
nilai-nilai lingkungan yang berlaku di organisasi militer yang menekankan
nilai-nilai konservatisme serta pentingnya konformitas, kerjasama, dan
koordinasi. Namun seperti dikatakan
oleh Air Vice-Marshal R.A. Mason,
kontradiksi-kontradiksi ini tidak perlu dipertentangkan melainkan bagaimana
mengupayakan untuk saling melengkapi.
Pada saatnya individu-individu seperti ini sering diperlukan terutama
dalam peperangan modern yang berlangsung cepat, berdaya hancur tinggi, dan
melibatkan kekompleksan dukungan logistik, perlengkapan dan senjata, dimana
situasinya unpredictable. Bilamana perencanaan, organisasi, koordinasi,
dan komunikasi mengalami kegagalan, maka para pemimpin harus mengandalkan
kekuatan pribadi, kecerdikan, fleksibilitas, inisiatif, dan kejernihan berfikir
yang kesemuannya ini dimiliki oleh mereka yang berkarakter kuat dan kreatif.
Studi lainnya tentang individu-individu
yang kreatif menunjukan bahwa mereka biasanya cerdas. Namun demikian, tidak selalu orang yang
cerdas itu juga kreatif. Hasil survey
melaporkan bahwa pada kenyataannya individu-individu yang kreatif biasanya
tidak “terlalu” cerdas namun well
informed. (Klemm, 1986) Terlalu cerdas ternyata menimbulkan pola
berfikir kaku atau terlalu “logic”,
dan ini tidak mendukung fleksibilitas berfikir yang dibutuhkan dalam
kreativitas. Sedangkan well informed atau memiliki informasi
yang baik - khususnya tentang masalah
yang dihadapi – dibutuhkan untuk memahami dan mengidentifikasi
permasalahan.
Bila kreativitas tidak mempersyaratkan
pola berfikir terlalu “logic”,
kemudian pada batas mana sebenarnya gaya
berfikir yang proporsional diperlukan untuk mengembangkan kreativitas ? Untuk menjawabnya, perlu difahami lebih
dahulu perbedaan pola berfikir konvergen dan divergen. Berfikir konvergen berhubungan dengan pola berfikir yang mengarah pada satu
solusi tunggal, atau menarik kesimpulan logis dengan penekanan pada pencapaian
hasil atau jawaban yang paling tepat.
Sedangkan berfikir divergen
mengarah pada pemikiran yang menghasilkan berbagai alternatif pemecahan masalah
dengan penekanan pada kuantitas, variasi dan relevansi solusi.
Dalam proses berfikir kreatif, terlibat
beberapa potensi atau aptitude yang
mendukungnya (Edwards, 1975 ; Ellis & Hunt, 1993). Antara
lain ; Kepekaan terhadap masalah, yaitu kemampuan melihat masalah dimana
orang lain belum melihatnya. Hal ini
dapat berhubungan dengan kemampuan melihat kekurangan, kelemahan atau
kekeliruan orang lain dalam melihat suatu obyek atau peristiwa. Lainnya adalah fluency atau kelancaran berfikir
yang merupakan kemampuan mencetuskan berbagai (atau banyak) gagasan alternatif
yang mengarah pada pencapaian tujuan/pemecahan masalah. Fleksibilitas
berfikir, yaitu kemampuan untuk mengubah pendekatan, bebas dari kekakuan dalam
memecahkan masalah. Selanjutnya, originalitas yang berhubungan dengan
kemampuan menciptakan cara pemecahan baru atau khas. Redefinisi,
kemampuan untuk memberi arti atau rumusan baru pada obyek atau masalah, dengan
melepaskan pengertian yang lama, yang biasa, untuk memanfaatkannya sebagai
cara-cara baru dalam memecahkan masalah.
Dan terakhir, elaborasi yaitu
kemampuan mengembangkan suatu gagasan, konsep atau obyek, baik memperkaya
dan/atau merincinya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah
potensi-potensi yang mendukung kreativitas merupakan “bakat bawaan” atau dapat
dikembangkan melalui pelatihan atau metode pembelajaran tertentu ? Terdapat silang pendapat di antara para ahli
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Namun yang penting disini adalah kemampuan
mendeteksi potensi-potensi tersebut dan mengembangkannya secara optimal melalui
metode yang tepat dan efektif. Jadi
sebenarnya lebih penting untuk menyiasati lingkungan dalam mendorong munculnya
kreativitas.
Aspek-aspek
tersebut dapat digunakan untuk memahami potensi individu untuk selanjutnya
dimanfaatkan titik tolak dalam mengembangkan kreativitasnya. Misalnya, untuk meningkatkan kelancaran
berfikir, individu distimulasi untuk mengungkapkan sebanyak mungkin gagasan
alternatif berkenaan dengan suatu masalah tanpa takut dikritik atau berfikir
bahwa gagasannya baik atau buruk, berguna atau tidak berguna. Mereka dinilai baik bila dapat mengeluarkan
gagasannya sebanyak mungkin. Atau, untuk
mengembangkan potensi elaborasi, ketika individu menghadapi suatu konsep atau
objek tertentu, ia dituntut untuk merinci detil-detilnya. Demikian pula dengan redefinisi,
originalitas, dan kepekaan.
Pendekatan Dalam Mengembangkan
Kreativitas
Kreativitas
merupakan sesuatu yang dapat tumbuh dan berkembang melalui pengaruh lingkungan
dan pendidikan. Disamping metode
pendekatan yang telah disinggung sebelumnya, studi tentang bagaimana
mengembangkan kreativitas dapat dilakukan melalui lingkungan yang sengaja
dikelola.
Menciptakan
lingkungan yang tepat, dapat mengembangkan kreativitas
karena ternyata kreativitas bersifat menular dan menjalar (contagious). Suatu studi
penelusuran riwayat hidup para pemenang hadiah Nobel di bidang kimia ternyata
berasal dari satu lingkungan yang saling terkait. Mereka mempunyai hubungan erat, entah sebagai
guru dan murid, cucu murid, hubungan mentor atau rekan diskusi, dan luar biasanya
kaitan ini berlangsung lebih dari 200 tahun tanpa terputus. Kasus ini menunjukan bagaimana kreativitas
dan inovasi dapat ditularkan melalui lingkungan orang-orang yang saling
berhubungan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Menumbuhkan
harapan atau ekspaktasi untuk bertindak kreatif. Inovasi mempunyai korelasi yang sangat kuat
dengan persepsi seseorang terhadap apakah ia diharapkan atau tidak diharapkan
untuk bertindak kreatif. Bila pimpinan
mengharapkan bawahannya bertindak kreatif, maka bawahan biasanya akan
melakukannya sesuai harapan pimpinannya.
Hal ini juga dapat disebabkan karena
lingkungan memang mendorong untuk bersikap kreatif.
Adanya tantangan, karena tanpa
tantangan maka tidak ada rangasangan yang akan memunculkan respon-respon
kreatif. Hanya perlu diwaspadai bahwa
tantangan yang berlebihan dapat membebani emosi dan menyebabkan kontra
produktif. Selain tantangan, pendekatan
lain yang mendukung adalah menempatkan
individu dalam kelompok yang setara. Biasanya, orang-orang profesional ingin
dihargai oleh rekan-rekan profesionalnya.
Bila mereka tahu bahwa keberadaannya tidak mendapatkan tanggapan dari
rekan-rekannya, maka dorongan untuk berbuat yang terbaik umumnya tidak akan muncul. Tapi bila rekan-rekan profesionalnya
memberikan respek kepadanya ia akan terangsang untuk berbuat lebih baik lagi.
Tempatkan individu-individu yang tepat dalam satu tim. Orang-orang
yang cemerlang akan saling menstimulasi untuk memunculkan gagasan yang kreatif,
terutama bila masing-masing individu tersebut mempunyai latar belakang yang
bervariasi dan memiliki keterampilan teknis dalam menangani permasalahan umum.
Menjaga individu tidak menjadi terlalu
spesialis pada satu bidang.
Spesialisasi keahlian tentunya berguna karena merupakan syarat untuk
menguasai keterampilan khusus. Tetapi
bila individu menjadi terlalu terspesialisasi (berlebihan), akan menghambat
pemikiran kreatif. Individu yang terlalu
terspesialisasi, pengamatannya cenderung sempit dengan wawasan yang tak luas
sehingga tidak dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang yang berguna
untuk berfikir kreatif. Tim kerja
dengan anggota yang bervariasi latar belakang keahliannya dapat menciptakan
rangsangan intelektual yang bermanfaat bagi evaluasi permasalahan dari berbagai
perspektif serta mampu mengembangkan cara-cara baru dalam mengamati masalah
maupun solusi masalah.
Memberikan penghargaan (rewards)
bagi individu yang kreatif merupakan pendekatan lain yang cukup efektif. Penghargaan ini dapat berupa materi maupun
non materi, tidak harus mahal atau diberikan dalam suasana formal. Asalkan difahami bahwa reward berkaitan dengan tindakan kreativitas, maka hal itu akan
menjadi unsur penguat untuk mencetuskan gagasan-gagasan baru dan kreatif
lainnya.
Menghilangkan ketakutan dan ancaman,
ciptakan rasa aman. Kreativitas dan inovasi
tidak mungkin berkembang dalam atmosphere
ketakutan, baik takut tidak mendapatkan dukungan administratif, rasa terancam,
takut terhadap hukuman bila gagal, ataupun takut karena tidak cukup waktu. Ketakutan disamping membelenggu munculnya
gagasan-gagasan yang segar juga membuat energi terfokus pada usaha menghindari
ketakutan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan upaya-upaya
kreatif.
Merubah sikap yes-man dan konformitas yang berlebihan. Salah satu musuh kreativitas adalah konformitas. Adalah kenyataan bahwa setiap orang memiliki
tingkat konformitas yang bervariasi, dan umumnya hal ini dipengaruhi oleh
budaya dan pengaruh tekanan kelompok.
Survey Crutchfield (dalam Klemm, 1986) terhadap para profesional
melaporkan bahwa skor konformitas di kalangan perwira militer lebih tinggi
dibandingkan dengan profesional lainnya dari lingkungan perguruan tinggi dan
industri. Sehingga dapat difahami
mengapa kadang-kadang agak sulit mengharapkan munculnya gagasan-gagasan
inovatif dari lingkungan militer.
Mengenali kesalahan dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan upaya memperbaiki
kesalahan dengan cepat sehingga dapat diketahui cara lain yang lebih baik. Atau, mengenali
secara cepat gagasan yang baik.
Dengan lebih cepat mengenali gagasan yang baik, maka akan lebih efektif
mengimplementasikan gagasan-gagasan tersebut.
Menciptakan iklim diskusi dan ketidak
sepakatan. Gagasan-gagasan baru
sering muncul dari forum komunikasi yang terbuka antar rekan maupun
atasan. Iklim komunikasi yang mendukung
kreativitas sering muncul dari situasi dimana ada keterbukaan dan dorongan
untuk menyampaikan gagasan baru, bahkan/walaupun gagasan tersebut tidak dapat
digunakan. Suatu penelitian
mengungkapkan bahwa produktivitas gagasan kreatif berkorelasi langsung dengan
banyaknya individu yang terlibat dalam pertemuan dan seringnya mereka bertemu.
Mengoptimalkan interaksi antar pribadi. Gagasan-gagasan baru dan segar sering muncul
dari pertemuan-pertemuan antar pribadi yang jauh dari sekat-sekat birokrasi dan
hubungan yang formal.
Mengubah tim kerja secara periodik,
khususnya untuk tim yang dituntut selalu menghasilkan gagasan-gagasan
kreatif. Perubahan tim secara periodik
perlu dilakukan, karena usia suatu kelompok kerja yang terlalu lama akan
menyebabkan konformitas yang kuat dan konsekuensinya menjadi kontraproduktif
dalam kreativitas. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa usia kelompok kerja paling kreatif dan produktif rata-rata
tidak lebih dari 16 bulan. (Klemm,
1986)
Selanjutnya bagaimana gagasan-gagasan
kreatif yang dihasilkan dapat ditindak lanjuti dengan bentuk-bentuk produk
baru, (perangkat keras ataupun lunak seperti prosedur, aturan dsb.) yang
bersifat terobosan dan efektif. Hal ini
berhubungan dengan bagaimana kemampuan untuk mengalihkan gagasan kreatif
menjadi produk inovasi. Mengutip
pendapat ahli, kreativitas dan inovasi mempersyaratkan karakteristik individu
yang berbeda. Untuk menjadi individu
inovatif, selain visionaire dan
menciptakan gagasan-gagasan baru, juga kemampuan menginformasikan dan “menjual”
secara efektif gagasan tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan,
merencanakan proses pengembangannya, dan mengatasi kendala-kendala yang
dihadapi. Suatu kemampuan yang tidak
cukup didukung bakat/talenta saja tetapi yang lebih penting adalah hasil
pelatihan yang menunjang, pengalaman panjang, kematangan dan pribadi yang
“bijak”.
Diskusi
Setelah diketahui tentang metode
berfikir kreatif dan kiat pendekatan dalam mengembangkan kreativitas, kemudian
bagaimana implementasinya dalam organisasi ?
Mengulas implementasi tentang kreativitas, maka hal ini akan berkaitan
dengan sejauh mana metode dan kiat pendekatan lingkungan dapat diterapkan di
dalam organisasi, khususnya Angkatan Udara sebagai organisasi militer. Mengulas uraian sebelumnya, tentunya dapat
disepakati bahwa kreativitas penting untuk dikembangkan, terutama untuk
mengantisipasi situasi ambigus dan tak dapat diprediksi atau
permasalahan-permasalahan kompleks yang ditimbulkan oleh perubahan dan
perkembangan teknologi yang cepat.
Sebenarnya bila diamati secara seksama,
metode-metode berfikir kreatif sudah menjadi pokok bahasan dan telah diterapkan
di lingkungan Angkatan Udara, terutama di lingkungan pendidikan pengembangan
umum maupun dalam kelompok-kelompok kerja khusus. Hanya saja, tampaknya, belum secara maksimal
dapat diaplikasikan baik dalam sikap dan perilaku kerja sehari-hari atau respon
organisasi secara keseluruhan.
Seringkali pemecahan masalah yang kreatif dan gagasan-gagasan segar
hasil kerja kreatif tidak dimanfaatkan atau belum sepenuhnya dapat diterima oleh lingkungan maupun
organisasi. Tampaknya memang masih
dibutuhkan pribadi-pribadi yang memenuhi kriteria inovatif.
Kepustakaan
Edwards, M.O., (1975).
Doubling Idea Power. Massachussette :
Addison-Wesley.
Ellis, H.C. & Hunt, R.R., (1993).
Fundamentals of Cognitive Psychology, 5’th.ed. LA
: Wm.C.Brown Communication, Inc.
Klemm, W.R., (1986).
Leadership : Creativity and Innovation. (Article prepared for AU-24, Concept for Air
Force Leadership).
Mason, R.A., (1986).
Innovation and the Military Mind.
(Adapted for AU-24 from Air University
Review).
Matlin, M., (1983).
Cognition. New York : CBS College
Publishing.
Morgan, G., (1986).
Images Organization. Newbury
Park : Sage
Publication, Inc.
Nasution, A.H., (1990). Psikologi
Militer - Reaksi Terhadap Kehidupan Militer, Majalah Tiara No. 10 Tahun I.
Pusat Psikologi (1976). Kepemimpinan
Militer, Cetakan II. Bandung : Direktorat Jendral Kesehatan TNI Angkatan
Udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar