Widura Imam Mustopo
Pendahuluan
Psikologi
dalam mendukung operasi penerbangan militer tidak dapat bersifat pasif. Kegiatan ini pada hakekatnya menuntut
keaktifan para ahli di bidang psikologi untuk bersikap proaktif. Mereka tidak hanya menunggu untuk melayani penerbang
dan awak pesawat yang mengalami gangguan psilkologis, tetapi sejak dini aktif
mengamati dan sekaligus melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar awak
pesawat dapat tetap efektif dalam melaksanakan tugas tempur.
Psikologi
sebagai disiplin ilmu yang berkonsentrasi pada perilaku manusia, khusus- nya di lingkungan militer sangat berkaitan dengan berbagai masalah personil seperti
; seleksi dan klasifiksi, latihan dan penugasan personil, pemantapan dan
peningkatan moril, serta efektivitas personil dalam bertugas, termasuk juga pada aspek pencegahan
serta treatment terhadap penderita combat exhaustion.
Dalam
kaitan dengan katahanan psikologis, tanpa mengenyampingkan masalah-masalah lainnya, khususnya dalam
hal pemantapan moril dan efektivitas awak pesawat, terdapat kesadaran baru
bahwa tingkah laku militer yang non efektif atau ”tidak sehat” juga dapat disebabkan
oleh kesulitan-kesulitan di lingkungannya. Ketidak efektifan perilaku tidak hanya
semata-mata karena alasan psikopatologi individu. Konsekuensi dari pandangan ini, ada perubahan
peran psikologi secara signifikan dari peran tradisional yang hanya menunggu awak
pesawat datang berkonsultasi, menjadi pro-aktif terjun ke satuan-satuan operasional. Artinya, pencegahan dan treatment dilakukan langsung di area lokasi operasional itu
sendiri. Orientasi baru tersebut menampilkan
tiga tingkatan bantuan yaitu :
Q Pencegahan awal, bertujuan
memelihara dan memantapkan kondisi lingkungan satuan operasional untuk
mengurangi problem tingkah laku dan kegagalan penyesuaian diri (maladjustment).
Q Pencegahan kedua, menekankan pada pengenalan sedini mungkin gangguan yang
muncul dan melaksanakan treatment
sesegera mungkin di tempat satuan dimana penderita berada.
Q Pencegahan ketiga, memanfaatkan
terapi lingkungan (millieu therapy)
terhadap penderita gangguan psikologis dengan tujuan menghentikan perkembangan
gangguan yang bersifat kronis dan mengembalikan penderita ke tugas aktif
secepat mungkin.
Faktor Stres
Dan Daya Tahan Terhadap Stres Pertempuran
Sejumlah faktor psikologis dan
interpersonal dapat menambah beban stres yang dialami oleh awak pesawat dan
mengakibatkan breakdown saat
melaksanakan operasi di medan tempur. Beberapa faktor seperti terpisah dari rumah
atau orang yang dicintai, terhambatnya kebebasan pribadi, frustrasi-frustrasi
karena beberapa sebab, problem
perkawinan/keluarga, dan/atau pengalaman operasi sebelumnya, kesemuanya ini
sangat berperan untuk menambah beban stres selain stres karena missi operasi
itu sendiri. Disamping itu, bisa terjadi
kematian rekan menjadi masalah serius karena
yang bersangkutan merasa kehilangan dukungan emosional dan/atau perasaan
bersalah.
Stres di daerah operasi
sangat mudah untuk difahami karena yang dihadapi bukan sekedar situasi bahaya,
tetapi juga merupakan ancaman yang nyata terhadap keselamatan diri sendiri mupun
teman dengan kemungkinan cedera atau gugur.
Bagi awak pesawat yang
ditempatkan di garis depan memungkinkan untuk munculnya perasaan asing dalam
situasi lingkungan yang baru. Latihan-latihan
tempur memang tidak dapat menggambarkan dengan persis keadaan pertempuran
sebenarnya, namun bila awak pesawat sudah mengetahui situasi yang akan dihadapi
melalui latihan-latihan dan briefing pra
tugas, tentunya mereka dapat mengantisipsi apa yang akan terjadi dan apa yang
harus dilakukannya. Dan upaya-upaya ini dipercaya
dapat mengurangi kemungkinan timbulnya gangguan psikologis.
Stres
emosional dapat berasal dari berbagai sumber, dan satu sama lainnya saling
menjalin, saling mempengaruhi. Sekalipun
demikian sumber stres dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori pokok, yaitu;
ancaman yang berhubungan dengan keselamatan diri, ancaman terhadap keselamatan rekan,
keharusan terus menerus terlibat dalam kegiatan permusuhan. Efek dari kesemua itu secara fisik maupun emosional cukup
mempengaruhi motivasi bagi personil untuk terus bertempur.
Apalagi bagi awak pesawat yang bertugas harus menghancurkan musuh,
sering kali dalam pelaksanaannya tidak hanya membunuh lawan tetapi juga korban
kelompok sipil. Bagi individu tertentu
hal ini dapat menimbulkan konflik emosional, terutama bagi mereka yang pada
kehidupan sebelumnya sangat erat memegang norma dan nilai-nilai kemanusiaan.
Stres masih akan bertambah
bila awak pesawat karena sesuatu hal mengalami ketidak mungkinan untuk
melakukan perlawanan terhadap musuh sehingga mengakibatkan awak pesawat lebih
peka untuk mengalami combat exhaustion. Misalnya
bila mengalami keadaan dihujani gempuran artileri pemboman pesawat musuh tanpa
bisa membalas. Kondisi ini dapat
menimbulkan efek yang sangat menekan dan mengakibatkan kecemasan yang lebih
meningkat lagi.
Bertambah
lamanya seseorang berada di kancah pertempuran dapat meningkatkan kepekaan
seseorang terhadap rasa cemas. Mengalami
sendiri berbagai pertempuran, penyerangan, menyaksikan kawan dan lawan terbunuh
akan lebih menyadarkan yang bersangkutan bahwa hal yang sama mungkin saja
terjadi terhadap dirinya. Efek dari
lamanya seseorang berada di medan
tempur dapat menurunkan toleransi terhadap stres. Dalam Perang Dunia II kondisi ini dikenal
dengan istilah old sergeant syndrome. Suatu kondisi psikologis yang menunjukkan gejala kecemasan, depresi,
menurunnya kepercayaan diri dan judgement. Umumnya gejala tersebut muncul setelah mengalami
pertempuran selama 150 hari sampai 350 hari (Coleman, 1974). Satu
hal yang perlu dijadikan catatan, ternyata karakteristik kepribadian
mempengaruhi pula resistensi seseorang terhadap stres. Misalnya, ketidak matangan pribadi yang
terbentuk dari keluarga yang sangat melindungi sering kali dapat membentuk
seseorang menjadi sangat sensitif terhadap stres.
Stres dan
resistensi terhadap stres ternyata tidak saja berhubungan dengan masalah kepribadian,
tetapi juga terkait dengan faktor sosial psikologis yang ikut memainkan peran
penting dan menentukan penyesuaian diri seseorang dalam pertempuran. Hal ini menjadi penting karena dengan
memanipulasi aspek-aspek ini, diyakini dapat meningkatkan toleransi seseorang
terhadap kemungkinan mengalami stres yang merugikan.
Faktor/Aspek
Eksternal dalam Meningkatkan Toleransi Stres
-
Tujuan Perang
Salah satu faktor sosial psikologis tersebut adalah tujuan perang. Tujuan perang yang kongkrit dan realistik
serta dapat diintegrasikan oleh awak pesawat secara pribadi akan sangat membantu untuk menghadapi pertempuran
lebih efektif. Awak pesawat yang
bertempur dengan perasaan tertekan akan kurang efektif dan kurang tegar dalam
menghadapi stres, dibandingkan dengan mereka yang memahami untuk apa dia
bertempur dan seberapa besar pentingnya dia berada di pertempuran.
- Kepemimpinan
Fakor lain yang berpengaruh adalah kepercayaan pada pemimpin. Bila anggota sudah tidak respek terhadap
pemimpinnya dan tidak mempercayai kemampuan
maupun pertimbangannya, maka hal ini akan mempengaruhi moril dan
resistensi terhadap stres. Sebaliknya
bila anggota respek terhadap pemimpinnya dan dapat dijadikan figur ayah atau
kakak yang kuat, maka moril dan resistensi terhadap stres juga meningkat. Bagi pemimpin pertempuran (combat leader), selain faktor
kepercayaan diri dan tentunya kemampuan teknis baik taktis maupun strategis
(untuk pimpinan tertinggi), yang lebih penting lagi adalah kepribadian. Kepribadian yang kuat dan tegas sangat
penting untuk membina moril anggota, disamping kemampuan mengenal anak buah, bersikap
adil dan berani betindak, serta selalu memperhatikan kesejahteraan anggota.
- Moril dan
Identifikasi Kelompok
Faktor lainnya yang juga penting dalam meningkatkan moril dan motivasi
bertempur adalah identifikasi kelompok. Faktor
ini lebih banyak bekerja tanpa disadari.
Faktor identifikasi dimaksudkan sebagai perasaan kebersamaan, perasaan
menjadi bagian dari kelompok, atau perasaan senasib dengan rekan
sekelompoknya. Awak pesawat yang tidak
dapat mengidentifikasikan diri dengan kelompok satuannya atau tidak merasa
bangga sebagai anggota kesatuannya, dapat mengakibatkan perasaan terasing dan
umumnya mereka gagal untuk tetap tegar bila mengalami stres. Adalah suatu kenyataan bahwa bertambah kuat seseorang
memiliki sense of group identification bertambah
kuat pula resistensi dalam menghadapi stres pertempuran.
- Moril dan Esprit de Corps
Faktor selain
identifikasi pada kelompok, yang harus diperhatikan adalah esprit de corps atau moril kelompok secara keseluruhan. Biasanya semangat kelompok atau kesatuan
mempunyai sifat menular. Bila suatu
kesatuan secara keseluruhan optimis dan memiliki keyakinan diri sebelum
bertempur, maka anggota akan memperlihatkan moril yang tinggi. Kondisi ini akan memberikan efek positif bagi
ketegaran anggota kesatuan dalam menghadapi stres pertempuran. Masalah moril sangat berkait dan berpengaruh
pada toleransi terhadap stres. Moril yang tinggi adalah keadaan mental yang
ditandai oleh kepercayaan diri, suatu sikap yang memungkinkan seseorang mampu
dan mau menghadapi kesukaran-kesukaran dengan tabah, ulet dan penuh
semangat. Persoalannya adalah bagaimana
caranya untuk menilai moril suatu kesatuan.
Hal hal yang dapat dicatat sebagai bahan pertimbangan untuk menilai
moril adalah:
Q Keadaan lahiriah prajurit termasuk awak pesawat seperti
cara berpakaian, kebersihan tubuh, dan juga bagaimana menjaga kebersihan lingkungan.
Q Tingkah laku sehari hari.
Q Sopan
santun dan sikap militer.
Q Hygiene perorangan, terutama di
barak, asrama dan tenda-tenda.
Q Banyaknya fasilitas
rekreasi yang digunakan.
Q Desas desus yang merajalela.
Q Ketelitian dalam
memelihara peralatan.
Q Ketaatan terhadap
perintah.
Q Tingkat kemahiran
teknis dan taktis.
Q Semangat dan
kesungguhan hati dalam melaksanaan latihan.
Q Banyaknya laporan yang memuat pelanggaran disiplin,
kriminal, absensi, mangkir, desersi, dan
juga persoalan keluarga.
Pola Umum
Reaksi Terhadap Stres
Uraian
di depan dimaksudkan untuk membahas stres secara umum dan khususnya yang
berkaitan dengan situasi operasi/pertempuran.
Bila diperhatikan akan terlihat suatu pola umum dari reaksi dan tingkah
laku seseorang bila mengalami stres. Pola reaksi tersebut
dikenal sebagai General Adaption Syndrome
(GAS) atau sindroma adaptasi umum. Perubahan-perubahan
tingkah laku yang terjadi dalam kaitannya dengan GAS adalah munculnya tiga
tahapan perubahan tingkah laku sejak pertama kalinya seseorang menghadapi stresor
(penyebab stres) sampai dengan fase dimana yang bersangkutan tak dapat bertahan
lagi. Tahap-tahap GAS ini meliputi;
tahap alarm, perlawanan, dan kelelahan.
Tahap alarm
merupakan fase dimana akan muncul tanda-tanda perubahan yang pertama kali
dialami seseorang bila menghadapi stresor.
Biasanya pada tahap ini seseorang akan mengalami luapan emosi dan
meningkatnya kesiagaan, kepekaan serta usaha pengendalian diri. Seseorang akan bersiaga dan sekaligus memobilisir
sumber daya pribadi untuk mengatasi atau beradaptasi dengan keadaan stres
sampai ketingkat yang memadai. Dalam
fase ini sudah dapat terjadi munculnya simptom-simptom kegagalan penyesuaian diri
(maladjustment), seperti kecemasan
dan ketegangan yang berlanjut, gangguan pencernaan, atau gangguan jasmani
lainnya, dan penurunan efisiensi.
Selanjutnya
pada fase resistensi, keadaan stres yang berlanjut tentunya akan me-nuntut
kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap kemungkinan terjadinya
disorganisasi tingkah laku atau exhaustion. Tindakan-tindakan yang bersifat langsung mengatasi sumber
stres dan berhasil, tentunya tidak akan menimbulkan masalah. Tetapi bila tindakan langsung riskan untuk dilakukan
maka penggunaan defence mechanism
yang sebelumnya dilakukan mungkin saja tambah diperkuat. Dalam tahap resistensi
ini ada kemungkinan muncul indikasi dari keregangan (strain), misalnya simptom-simptom psikosomatis atau penyakit
penyakit adaptasi. Dalam tahap ini pula
seseorang cenderung lekat dengan defence
mechanism daripada bertindak konstruktif untuk mengatasi stres yang
dialaminya.
Ketika
seseorang mengalami stres yang berlangsung terus menerus, maka pada tingkat
tertentu sumber daya yang dikerahkan untuk mengatasi stres selama tahap
resistensi akan mengalami penurunan. Pada saat
itulah reaksi seseorang mulai memasuki tahap exhaustion, dimana mekanisme pertahanan diri mengalami penurunan fungsi
dan ketidak sesuaian. Timbul reaksi-reaksi
yang ditandai dengan disorganisasi psikologis dan ”lepas dari realita”. Keadaan ini muncul sejajar dengan terjadinya
disorganisasi pemikiran dan pengamatan.
Bila stres tetap berlanjut dan tidak ada usaha-usaha mereorganisasi
tingkah laku individu yang bersangkutan, maka pada tahap ini akan memunculkan
disorganisasi psikologis lebih berat, seperti; apatis, stupor, dan tingkah laku ekstrim lainnya bahkan kemungkinan juga
kematian.
Ada
kalanya untuk sampai pada tingkatan stres yang membahayakan seseorang, tidak
melalui tiga tahapan seperti yang sudah dijelaskan. Hal tersebut terjadi karena jarang sekali seseorang
menghadapi problem yang bersifat tunggal.
Lingkungan kesatuan, relasi dengan atasan dan teman, ataupun lingkungan
keluarga, secara potensial merupakan tambahan beban bagi setiap orang, sehingga
sangat mungkin seseorang dihadapkan pada berbagai masalah secara
bersamaan. Selain itu pengalaman
seseorang sepanjang kehidupannya dapat pula memberikan dampak yang
mengganggu. Bagi awak pesawat, pengalaman
pertempuran sebelumnya tak pelak sering memberi dampak yang kurang
menguntungkan. Kondisi-kondisi tersebut
mempunyai nilai kumulatif, yang memungkinkan reaksi antar individu berbeda satu
dengan lainnya.
Dengan latar belakang stres
lama yang ada pada seseorang, maka yang bersangkutan menjadi rawan terhadap
berbagai strers baru betapapun kecilnya stres tersebut. Stres baru atau stres tambahan, meskipun
kecil dapat menghancurkan daya tahan seseorang, sehingga dalam waktu yang
relatif singkat tanpa melalui tiga tahap GS sudah menampilkan gejala-gejala
fisik, psikis atau tingkah laku yang
menarik perhatian. Dalam hal ini stres
tambahan dipandang sebagai trigger karena
memelatuk kondisi rawan yang sebelumnya sudah ada pada diri seseorang secara
laten.
Untuk sampai pada titik hancurnya
daya tahan seseorang menghadapi stresor, setiap orang memiliki titik batas atau
titik kritis yang tidak sama. Ada yang tinggi namun ada
juga yang rendah, hal tersebut bergantung predisposisi keptibadian atau taraf
integritas struktur dasar kepribadian dan stabilitas emosi. Sedangkan kapan titik kritis ini tercapai ditentukan oleh
kekuatan (intensitas) stres dan lamanya (durasi) stres yang dialami. Selain itu, predisposisi menentukan besarnya
kekuatan yang tersedia untuk dimobilisir, tanggapan terhadap besarnya stres,
cara-cara bertahan, dan titik limitasi daya tahan, dan bagaimana antisipasi seseorang
setelah titik limitasi terlewati.
Seseorang dengan predisposisi neurotis akan jadi neurotik dan predisposisi
psikotis akan jadi psikotik.
Sedangkan mereka yang
relatif bebas dari predisposisi seperti itu atau yang well integrated dan stabil secara emosional, akan mengembangkan apa
yang disebut exhaustion reaction. Terdapat tiga tipe reaksi exhaustion
yaitu :
Q Situasional (Transient Exhaustion Reaction).
Reaksi ini cenderung dikembangkan oleh seseorang bila terus menerus
berada dalam situasi penuh kekecewaan dalam jangka waktu yang lama dan yang
bersangkutan merasa kehabisan daya untuk menghadapinya.
Q Traumatis (Traumatic Exhaustion Reaction).
Reaksi-rekasi seseorang yang menghadapi pengalaman berdaya kejut besar yang
amat menggoncangkan keseimbangan jiwanya.
Q Combat Exhaustion Reaction.
Khusus
mengenai reaksi ini akan dibahas tersendiri pada uraian selanjutnya.
Combat Exhaustion Reaction
Combat exhaustion reaction adalah reaksi
yang diakibatkan oleh stres pertempuran.
Dalam perang Dunia I istilah ini dikenal dengan shell shock, dalam Perang Dunia II lebih populer dengan sebutan operational fatigue dan war neurosis. Sejak Perang Korea sampai dengan Vietnam,
istilah tersebut dikenal dengan combat
fatigue atau combat exhaustion
reaction dan pada masa-masa belakangan ini sering diistilahkan dengan post traumatic stress disorders (PTSD). Apapun
istilahnya reaksi-reaksi yang ditunjukkan memberikan gambaran klinis yang sama.
Stres pertempuran ini tidak saja
bercorak situasional (ditinjau dari durasi), tetapi juga bersifat traumatis dan
repetitive. Sebenarnya gejala-gejala yang ditimbulkannya merupakan reaksi
emosional yang manusiawi dan normal terhadap situasi
abnormal (Roth, 2004). Namun seperti
telah disinggung sebelumnya bahwa setiap orang mempunyai batas ambang kekuatan
dalam menghadapi stres.
Gejala-gejala
stres yang muncul tergantung pada pengalaman traumatis yang dialami dan
karakteristik kepribadian yang bersangkutan.
Umumnya mereka sering membayangkan kembali peristiwa trauma dan kadang menampakkan
gejala seperti murung, letih, tremor, hipersensitif, gangguan tidur dalam
bentuk mimpi menakutkan, dan disorientasi yang mendekati stupor. Khusus untuk awak pesawat setelah
melaksanakan misi penerbangan tempur yang lama menunjukkan simptom simptom yang
khas, seperti kemurungan sekaligus depresi yang mengiringi perasaan kecemasan,
fobi terhadap misi-misi pertempuran, irritabilitas dan startle reaction. Selain
itu, simptom yang diakibatkan oleh stres yang bersifat kumulatif berbeda dengan
yang diakibatkan oleh stres pertempuran yang mendadak dan kuat sekali.
Keadaan
awal dari combat exhaustion reaction
dikenal dengan incipient state. Sebagai ilustrasi akan digambarkan hasil penelitian terhadap
Divisi ke 25 AD Amerika selama bertugas di Vietnam ,
sejak awal kedatangannya sampai selesai bertugas di medan pertempuran. Mereka bertugas selama dua belas bulan dan sering
diantara mereka dilakukan rotasi penempatan.
Pada
periode awal yang berlangsung sampai tiga bulan, ditandai dengan semangat besar
yang diwarnai kekhawatiran (apprehensive
enthusiasm). Kekhawatiran disini berhubungan
dengan rasa cemas yang terkait
dengan keterpisahan
karena meninggalkan keluarga, memasuki daerah yang masih asing, dan antisipasi kondisi dua belas bulan ke depan atau
lebih yang memungkinkan akan
menemui hal-hal yang mencekam dan berbagai kesulitan. Sedangkan semangat tinggi merupakan pembentukan reaksi (reaction formation) berupa reaksi sebaliknya sebagai
mekanisme pertahanan diri terhadap perasaan khawatir dan cemas.
Dari laporan penelitian
terlihat adanya gejala incipient state
yang umumnya akan memunculkan tiga simptom utama di mana satu
sama lain akan saling mempengaruhi. Ketiga simptom tersebut
yaitu :
Q Simptom pertama, meningkatnya iritabilitas
dan gangguan tidur. Gejala ini muncul dalam
bentuk reaksi-reaksi berlebihan terhadap rangsang-rangsang kecil, mudah marah, dan
gampang tersinggung. Bahkan
ada yang sampai menangis terisak oleh
frustrasi yang kecil saja. Reaksi marah yang muncul mulai dari yang ringan
sampai pada tindakan yang tidak terkendali seperti mengamuk. Secara subyektif keadaan iritabilitas ini
dialami dengan sadar sebagai hypersensitivitas yang menyiksa.
Q Simptom kedua, ada hubungannya dengan hypersensitivitas, yaitu startle reaction yang semakin terlihat jelas.
Gejalanya antara lain menjadi mudah gugup dan terkejut, lari, loncat,
terus mencari perlindungan hanya oleh bunyi, gerakan atau sinar yang sedikit
saja. Bunyi desiran angin suah membuatnya
terkejut, dikira musuh yang sedang mengintip.
Bunyi benda kecil jatuh sudah menjadikan panik karena mungkin saja dikira
suara meriam musuh.
Q Simptom ketiga, simptom yang menyertai iritabilitas yang semakin
meningkat, yaitu sulit tidur sekalipun situasinya memungkinkan. Mereka tahu bahwa harus mencari kesempatan
untuk tidur tetapi pada waktu yang sama
mereka juga takut sewaktu-waktu terbangun
karena suara-suara atau mimpi-mimpi yang menakutkan. Bila kesempatan tidur semakin sulit, maka
yang bersangkutan akan merasa terganggu sekali.
Keadaan awal di atas
dapat berlangsung lama tanpa banyak berubah sampai berhari-hari, beberapa
minggu, bahkan berbulan-bulan. Cepat
atau lambat, bila kondisi ini tidak segera ditangani dengan baik, akan muncul perubahan
menjadi akut. Bila sudah pada taraf
akut, dihadapan Psikolog penderita akan mengemukakan keluhan-keluhan dan
menunjukkan simptom-simptom yang macamnya mungkin sama tetapi tarafnya berbeda dibandingkan
dengan simptom-simptom dekompensasi kepribadian. Umumnya mereka cepat-cepat datang dan
mengeluh “Saya sudah tidak mampu lebih lama lagi” atau “Saya sudah tidak
berdaya sama sekali”, “Saya sudah tidak kuasa mengendalikan diri lagi”. Mereka
tampak berduka sekali, tidak menghiraukan kebersihan diri lagi, terlihat
kepayahan, wajah tertekan, dan kadang-kadang terdengar isak tangis. Tangan gemetar dan tersentak-sentak, kelihatan
bingung bahkan dapat lebih berat lagi dengan tampil membisu, memandang ke atas dengan
terbengong bengong.
Bila
lebih akut lagi, penderita menunjukkan kecemasan yang amat kuat. Dalam mengamati masalah kecemasan ini terdapat
pengecualian yang kemungkinan besar disebabkan pengaruh budaya. Contoh yang
dimaksud misalnya ; dalam Perang Dunia
II, tentara India sesuai dengan budayanya untuk menunjukkan rasa takut merupakan
hal yang sehingga mereka jarang menunjukkan reaksi kecemasan. Sebaliknya mereka
kerap menunjukkan self multilation
(melukai diri sendiri), atau cara-cara “terhormat” lainnya untuk menghindari
keikut sertaan yang bersangkutan pada pertempuran selanjutnya.
Pada contoh kasus
lainnya adalah menarik untuk mengetahui bahwa mereka yang luka cenderung
menunjukkan tingkat kecemasan yang ringan saja dan tanda-tanda stres yang tidak
begitu nyata. Umumnya justru makin berat
lukanya maka mimik kecemasannya semakin berkurang. Tetapi bila mereka mulai sembuh tampak ingin
sakit lebih lama lagi. Kecemasan mulai meningkat
lagi bila akan dikembalikan ke medan tempur.
Pada
kejadian lain ada kemungkinan prajurit atau awak pesawat tampak mampu bertahan menghadapi
stres pertempuran, dan yang bersangkutan tidak menunjukkan tanda-tanda
kecemasan sama sekali sampai saat meninggalkan pertempuran. Tetapi justru setelah di home base atau di garis belakang, mereka tidak tahan terhadap stres
yang sebenarnya relatif tidak begitu menekan.
Kondisi tersebut dapat diinterpretasi bahwa kemampuan adaptasinya sudah
habis selama dalam pertempuran. Gejala seperti ini disebut combat exhaustion reaction yang
tertunda.
Setelah
fase-fase awal penugasan berhasil dilalui, maka masuklah periode per-tengahan
yang berlangsung sampai dengan bulan-bulan terakhir. Periode ini sering juga disebut
sebagai periode pengunduran diri (resignation)
dimana pada beberapa personil mengalami gejala depresi yang bersifat kronis. Periode ini pada sebagian besar personil merupakan puncak
produktivitas. Hal-hal yang ditemukan
pada saat pertempuran menjadi sesuatu yang biasa. Mereka tidak lagi mudah terganggu oleh bunyi
ledakan dan bom, komunikasi dengan keluarga sudah terpola dan berlangsung
teratur. Dalam periode ini, mereka umumnya
tetap produktif dalam pengertian tetap efektif tetapi tidak telalu mengharapkan
penugasan-penugasan bersifat rutin.
Musuh pada periode ini adalah kejenuhan, dan untuk membunuh kejenuhan sehari-hari
meraka bermain kartu dan banyak yang minum alkohol. Mulai muncul penyakit penyakit kesepian,
menurunnya selera makan, dan berat badan.
Memasuki
periode akhir
yaitu bulan terakhir penugasan ciri utamanya adalah anxious apprehension. Identifikasi
kelompok mulai menurun, beberapa orang mulai menghindari pertemuan dengan
teman. Pikiran sudah berada di rumah. Kadang-kadang timbul perasaan bersalah karena
akan meninggalkan rekan-rekan senasib.
Ada juga yang mengalami perlakuan iri dari teman sekesatuan. Sebagian besar mengalami kecemasan ringan
sampai dengan perasaan fobia. Sering
kali prajurit dengan reputasi baik menolak penugasan dalam misi-misi yang tidak
mempunyai alasan kuat. Biasanya unit-unit
tempur mengenal tanda tanda ini dan mengambil kebijaksanaan untuk tidak menugaskan
mereka untuk patroli-patroli penyerangan yang bersifat aktif.
Metode dan Teknik Pencegahan dan Treatment
Terhadap Stres Pertempuran
Dari
berbagai pengalaman perang dan operasi militer, diperoleh gambaran bahwa upaya pencegahan
terhadap timbulnya gejala stres pertempuran perlu ditempatkan pada perhatian
yang utama dan esensial. Untuk itu para prajurit termasuk awak pesawat militer
perlu dibekali pelatihan sebelum melaksanakan missi operasi militer atau pre-mission training dengan fokus pada
pengenalan gejala stres dan teknik praktis mengatasinya.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, Angkatan Udara Jerman telah mengembang-kan Strategi
Pelatihan Dua Tingkat yang diberikan saat latihan Pra Tugas awak pesawat
sebelum menjalankan penugasan yang meliputi Pelatihan Dasar (basic training) dan Pelatihan Lanjut (advance training). Pelatihan dasar mencakup; informasi tentang stres, hubungan antara
stres dan keregangan (strain),
strategi menanggulangi stres (coping),
pentingnya kebugaran psiko-fisik, informasi tentang metode relaksasi dan
latihan mental, teknik relaksasi, latihan mental, dan dukungan psikologi diri
sendiri serta bantuan rekan yang dapat diharapkan. Sedangkan pada pelatihan lanjut, disamping materi
pada pelatihan dasar ditambah dengan perbincangan psikologis (psychological conversation) dan Critical Incident Stress Management atau
CISM (Roth, 2004).
Khususnya
untuk CISM diberikan kepada mereka yang pernah menghadapi stres atau situasi
stres potensial. CISM merupakan metode intervensi namun tidak termasuk metode
terapi. Intervensi CISM dapat dilaksanakan dari fase sebelum krisis, sampai kondisi
akut dan sesudahnya. Metode ini dapat
diterapkan kepada anggota militer atau awak pesawat sebagai individu maupun
terhadap kesatuan, sub kelompok dalam kesatuan, dan keluarga.
Pelatihan
psikologi dan metode treatment
terhadap anggota militer yang melak-sanakan tugas tempur setidaknya perlu
mempertimbangkan tiga prinsip utama, yaitu ; kesegeraan, kedekatan, dan
ekspaktasi.
Prinsip
kesegeraan berhubungan dengan pentingnya mendeteksi secara dini gejala-gejala combat exhaustion atau PTSD dan secepat
mungkin memberikan treatment. Karena penundaan treatment ketik kemunculan gejala awal dapat membuat penderita terpaku
pada pola dekompensasi dan lebih resisten terhadap terapi. Prinsip kedua yaitu prinsip kedekatan
berkaitan dengan usaha treatment atau terapi yang perlu ditempatkan sedekat
mungkin dengan satuan tempurnya atau daerah operasi. Terakhir, prinsip ekspaktasi berhubungan
dengan sikap bahwa semua perajurit setelah mendapatkan treatment diharapkan tetap mampu melaksanakan tugas-tugas tempur
dan menyingkirkan penderita stres dari medan pertempuran bukan merupakan alasan
untuk memindahkan mereka selamanya dari pertempuran.
Penutup
Demikian
ulasan ringkas mengenai aspek-aspek psikologi dalam operasi pener-bangan
militer. Tentunya tidak semua masalah
dapat diulas dan dikembangkan secara rinci dan mendalam, namun
setidaknya tulisan ini dapat memberikan informasi tentang sebab dan gejala yang
merugikan missi operasi militer serta upaya-upaya penanggulangannya agar
personil maupun awak pesawat dapat tetap efisien dan efektif secara individual
maupun kesatuan.
Kepustakaan
Coleman, JC. (1974), Abnormal
Psychology and Modern Life, India:
Foresman Scott.
Komando Pendidikan TNI AU, (1974). Stres
dan Psikologi Penerbangan, Jakarta: Wingdik I.
Roth, W., (2004). Prevention and Treatment of Post-Traumatic
Stress Effects. Dalam, Goeters,
K.M., Aviation Psychology ; Practice and Research. Hampshire : Ashgate
Publishing Limited.
United Nations Deprtement of Peace-keeping Operation.
(1995). United Nations Stress Management Booklet. Turin:
The International Training Centre of the ILO.
Watson, P., (1980). War On The Mind ; The Military Uses &
Abuses of Psychology. London: Penguin Books.
Widura IM., (1990). Mengamati Gejala Psikologi dan
Pencegahannya Dalam Lingkup Pertempuran.
Makalah Pada Penataran Dukungan Tempur dan Kesehatan Lapangan bagi
tenaga Kesehatan TNI AU di Lanud Abd, Malang.