Selasa, 28 Januari 2020

ASPEK-ASPEK PSIKOLOGI DALAM OPERASI PENERBANGAN MILITER


Widura Imam Mustopo

Pendahuluan
           Psikologi dalam mendukung operasi penerbangan militer tidak dapat bersifat pasif.  Kegiatan ini pada hakekatnya menuntut keaktifan para ahli di bidang psikologi untuk bersikap proaktif.  Mereka tidak hanya menunggu untuk melayani penerbang dan awak pesawat yang mengalami gangguan psilkologis, tetapi sejak dini aktif mengamati dan sekaligus melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar awak pesawat dapat tetap efektif dalam melaksanakan tugas tempur.
        Psikologi sebagai disiplin ilmu yang berkonsentrasi pada perilaku manusia, khusus- nya di lingkungan militer sangat berkaitan dengan berbagai masalah personil seperti ; seleksi dan klasifiksi, latihan dan penugasan personil, pemantapan dan peningkatan moril, serta efektivitas personil dalam bertugas, termasuk juga pada aspek pencegahan serta treatment terhadap penderita combat exhaustion.
      Dalam kaitan dengan katahanan psikologis, tanpa mengenyampingkan masalah-masalah lainnya, khususnya dalam hal pemantapan moril dan efektivitas awak pesawat, terdapat kesadaran baru bahwa tingkah laku militer yang non efektif atau ”tidak sehat” juga dapat disebabkan oleh kesulitan-kesulitan di lingkungannya. Ketidak efektifan perilaku tidak hanya semata-mata karena alasan psikopatologi individu.  Konsekuensi dari pandangan ini, ada perubahan peran psikologi secara signifikan dari peran tradisional yang hanya menunggu awak pesawat datang berkonsultasi, menjadi pro-aktif terjun ke satuan-satuan operasional.  Artinya, pencegahan dan treatment dilakukan langsung di area lokasi operasional itu sendiri.  Orientasi baru tersebut menampilkan tiga tingkatan bantuan yaitu :

Q Pencegahan awal,  bertujuan memelihara dan memantapkan kondisi lingkungan satuan operasional untuk mengurangi problem tingkah laku dan kegagalan penyesuaian diri (maladjustment).
Q Pencegahan kedua, menekankan pada pengenalan sedini mungkin gangguan yang muncul dan melaksanakan treatment sesegera mungkin di tempat satuan dimana penderita berada.
Q Pencegahan ketiga,  memanfaatkan terapi lingkungan (millieu therapy) terhadap penderita gangguan psikologis dengan tujuan menghentikan perkembangan gangguan yang bersifat kronis dan mengembalikan penderita ke tugas aktif secepat mungkin.

Faktor Stres Dan Daya Tahan Terhadap Stres Pertempuran
         Sejumlah faktor psikologis dan interpersonal dapat menambah beban stres yang dialami oleh awak pesawat dan mengakibatkan breakdown saat melaksanakan operasi di medan tempur. Beberapa faktor seperti terpisah dari rumah atau orang yang dicintai, terhambatnya kebebasan pribadi, frustrasi-frustrasi karena beberapa sebab, problem perkawinan/keluarga, dan/atau pengalaman operasi sebelumnya, kesemuanya ini sangat berperan untuk menambah beban stres selain stres karena missi operasi itu sendiri.  Disamping itu, bisa terjadi kematian rekan menjadi masalah serius karena yang bersangkutan merasa kehilangan dukungan emosional dan/atau perasaan bersalah. 
 Stres di daerah operasi sangat mudah untuk difahami karena yang dihadapi bukan sekedar situasi bahaya, tetapi juga merupakan ancaman yang nyata terhadap keselamatan diri sendiri mupun teman dengan kemungkinan cedera atau gugur. 
 Bagi awak pesawat yang ditempatkan di garis depan memungkinkan untuk munculnya perasaan asing dalam situasi lingkungan yang baru.  Latihan-latihan tempur memang tidak dapat menggambarkan dengan persis keadaan pertempuran sebenarnya, namun bila awak pesawat sudah mengetahui situasi yang akan dihadapi melalui latihan-latihan dan briefing pra tugas, tentunya mereka dapat mengantisipsi apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukannya.  Dan upaya-upaya ini dipercaya dapat mengurangi kemungkinan timbulnya gangguan psikologis. 
          Stres emosional dapat berasal dari berbagai sumber, dan satu sama lainnya saling menjalin, saling mempengaruhi.  Sekalipun demikian sumber stres dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori pokok, yaitu; ancaman yang berhubungan dengan keselamatan diri, ancaman terhadap keselamatan rekan, keharusan terus menerus terlibat dalam kegiatan permusuhan.  Efek dari kesemua itu secara fisik maupun emosional cukup mempengaruhi motivasi bagi personil untuk terus bertempur.  Apalagi bagi awak pesawat yang bertugas harus menghancurkan musuh, sering kali dalam pelaksanaannya tidak hanya membunuh lawan tetapi juga korban kelompok sipil.  Bagi individu tertentu hal ini dapat menimbulkan konflik emosional, terutama bagi mereka yang pada kehidupan sebelumnya sangat erat memegang norma dan nilai-nilai kemanusiaan. 
Stres masih akan bertambah bila awak pesawat karena sesuatu hal mengalami ketidak mungkinan untuk melakukan perlawanan terhadap musuh sehingga mengakibatkan awak pesawat lebih peka untuk mengalami combat exhaustion. Misalnya bila mengalami keadaan dihujani gempuran artileri pemboman pesawat musuh tanpa bisa membalas.  Kondisi ini dapat menimbulkan efek yang sangat menekan dan mengakibatkan kecemasan yang lebih meningkat lagi. 
          Bertambah lamanya seseorang berada di kancah pertempuran dapat meningkatkan kepekaan seseorang terhadap rasa cemas.  Mengalami sendiri berbagai pertempuran, penyerangan, menyaksikan kawan dan lawan terbunuh akan lebih menyadarkan yang bersangkutan bahwa hal yang sama mungkin saja terjadi terhadap dirinya.  Efek dari lamanya seseorang berada di medan tempur dapat menurunkan toleransi terhadap stres.  Dalam Perang Dunia II kondisi ini dikenal dengan istilah old sergeant syndrome.  Suatu kondisi psikologis  yang menunjukkan gejala kecemasan, depresi, menurunnya kepercayaan diri dan judgement.  Umumnya gejala tersebut muncul setelah mengalami pertempuran selama 150 hari sampai 350 hari (Coleman, 1974).   Satu hal yang perlu dijadikan catatan, ternyata karakteristik kepribadian mempengaruhi pula  resistensi seseorang terhadap stres.  Misalnya, ketidak matangan pribadi yang terbentuk dari keluarga yang sangat melindungi sering kali dapat membentuk seseorang menjadi sangat sensitif terhadap stres.     
Stres dan resistensi terhadap stres ternyata tidak saja berhubungan dengan masalah kepribadian, tetapi juga terkait dengan faktor sosial psikologis yang ikut memainkan peran penting dan menentukan penyesuaian diri seseorang dalam pertempuran.  Hal ini menjadi penting karena dengan memanipulasi aspek-aspek ini, diyakini dapat meningkatkan toleransi seseorang terhadap kemungkinan mengalami stres yang merugikan. 

Faktor/Aspek Eksternal dalam Meningkatkan Toleransi Stres
-     Tujuan Perang
Salah satu faktor sosial psikologis tersebut adalah tujuan perang.  Tujuan perang yang kongkrit dan realistik serta dapat diintegrasikan oleh awak pesawat secara pribadi  akan sangat membantu untuk menghadapi pertempuran lebih efektif.  Awak pesawat yang bertempur dengan perasaan tertekan akan kurang efektif dan kurang tegar dalam menghadapi stres, dibandingkan dengan mereka yang memahami untuk apa dia bertempur dan seberapa besar pentingnya dia berada di pertempuran.
           
-      Kepemimpinan
Fakor lain yang berpengaruh adalah kepercayaan pada pemimpin.  Bila anggota sudah tidak respek terhadap pemimpinnya dan tidak mempercayai kemampuan  maupun pertimbangannya, maka hal ini akan mempengaruhi moril dan resistensi terhadap stres.  Sebaliknya bila anggota respek terhadap pemimpinnya dan dapat dijadikan figur ayah atau kakak yang kuat, maka moril dan resistensi terhadap stres juga meningkat.  Bagi pemimpin pertempuran (combat leader), selain faktor kepercayaan diri dan tentunya kemampuan teknis baik taktis maupun strategis (untuk pimpinan tertinggi), yang lebih penting lagi adalah kepribadian.  Kepribadian yang kuat dan tegas sangat penting untuk membina moril anggota, disamping kemampuan mengenal anak buah, bersikap adil dan berani betindak, serta selalu memperhatikan kesejahteraan anggota.
           
-      Moril dan Identifikasi Kelompok
Faktor lainnya yang juga penting dalam meningkatkan moril dan motivasi bertempur adalah identifikasi kelompok.  Faktor ini lebih banyak bekerja tanpa disadari.  Faktor identifikasi dimaksudkan sebagai perasaan kebersamaan, perasaan menjadi bagian dari kelompok, atau perasaan senasib dengan rekan sekelompoknya.  Awak pesawat yang tidak dapat mengidentifikasikan diri dengan kelompok satuannya atau tidak merasa bangga sebagai anggota kesatuannya, dapat mengakibatkan perasaan terasing dan umumnya mereka gagal untuk tetap tegar bila mengalami stres.  Adalah suatu kenyataan bahwa bertambah kuat seseorang memiliki sense of group identification bertambah kuat pula resistensi dalam menghadapi stres pertempuran.
           
-      Moril dan Esprit de Corps
Faktor selain identifikasi pada kelompok, yang harus diperhatikan adalah esprit de corps atau moril kelompok secara keseluruhan.   Biasanya semangat kelompok atau kesatuan mempunyai sifat menular.  Bila suatu kesatuan secara keseluruhan optimis dan memiliki keyakinan diri sebelum bertempur, maka anggota akan memperlihatkan moril yang tinggi.  Kondisi ini akan memberikan efek positif bagi ketegaran anggota kesatuan dalam menghadapi stres pertempuran.  Masalah moril sangat berkait dan berpengaruh pada toleransi terhadap stres. Moril yang tinggi adalah keadaan mental yang ditandai oleh kepercayaan diri, suatu sikap yang memungkinkan seseorang mampu dan mau menghadapi kesukaran-kesukaran dengan tabah, ulet dan penuh semangat.  Persoalannya adalah bagaimana caranya untuk menilai moril suatu kesatuan.  Hal hal yang dapat dicatat sebagai bahan pertimbangan untuk menilai moril adalah:

Q Keadaan lahiriah prajurit termasuk awak pesawat seperti cara berpakaian, kebersihan tubuh, dan juga bagaimana menjaga kebersihan lingkungan.
Q Tingkah laku sehari hari.
Q  Sopan santun dan sikap militer.
Q Hygiene perorangan, terutama di barak, asrama dan tenda-tenda.
Q Banyaknya fasilitas rekreasi yang digunakan.
Q Desas desus yang merajalela.
Q Ketelitian dalam memelihara peralatan.
Q Ketaatan terhadap perintah.
Q Tingkat kemahiran teknis dan taktis.
Q Semangat dan kesungguhan hati dalam melaksanaan latihan.
Q Banyaknya laporan yang memuat pelanggaran disiplin, kriminal, absensi, mangkir, desersi, dan juga persoalan keluarga.

Pola Umum Reaksi Terhadap Stres
           Uraian di depan dimaksudkan untuk membahas stres secara umum dan khususnya yang berkaitan dengan situasi operasi/pertempuran.  Bila diperhatikan akan terlihat suatu pola umum dari reaksi dan tingkah laku seseorang bila mengalami stres.  Pola reaksi tersebut dikenal sebagai General Adaption Syndrome (GAS) atau sindroma adaptasi umum.  Perubahan-perubahan tingkah laku yang terjadi dalam kaitannya dengan GAS adalah munculnya tiga tahapan perubahan tingkah laku sejak pertama kalinya seseorang menghadapi stresor (penyebab stres) sampai dengan fase dimana yang bersangkutan tak dapat bertahan lagi.  Tahap-tahap GAS ini meliputi; tahap alarm, perlawanan, dan kelelahan.
Tahap alarm merupakan fase dimana akan muncul tanda-tanda perubahan yang pertama kali dialami seseorang bila menghadapi stresor.  Biasanya pada tahap ini seseorang akan mengalami luapan emosi dan meningkatnya kesiagaan, kepekaan serta usaha pengendalian diri.  Seseorang akan bersiaga dan sekaligus memobilisir sumber daya pribadi untuk mengatasi atau beradaptasi dengan keadaan stres sampai ketingkat yang memadai.  Dalam fase ini sudah dapat terjadi munculnya simptom-simptom kegagalan penyesuaian diri (maladjustment), seperti kecemasan dan ketegangan yang berlanjut, gangguan pencernaan, atau gangguan jasmani lainnya, dan penurunan efisiensi.
        Selanjutnya pada fase resistensi, keadaan stres yang berlanjut tentunya akan me-nuntut kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap kemungkinan terjadinya disorganisasi tingkah laku atau exhaustion.  Tindakan-tindakan yang bersifat langsung mengatasi sumber stres dan berhasil, tentunya tidak akan menimbulkan masalah.  Tetapi bila tindakan langsung riskan untuk dilakukan maka penggunaan defence mechanism yang sebelumnya dilakukan mungkin saja tambah diperkuat. Dalam tahap resistensi ini ada kemungkinan muncul indikasi dari keregangan (strain), misalnya simptom-simptom psikosomatis atau penyakit penyakit adaptasi.  Dalam tahap ini pula seseorang cenderung lekat dengan defence mechanism daripada bertindak konstruktif untuk mengatasi stres yang dialaminya.
         Ketika seseorang mengalami stres yang berlangsung terus menerus, maka pada tingkat tertentu sumber daya yang dikerahkan untuk mengatasi stres selama tahap resistensi akan mengalami penurunan.  Pada saat itulah reaksi seseorang mulai memasuki tahap exhaustion, dimana mekanisme pertahanan diri mengalami penurunan fungsi dan ketidak sesuaian.  Timbul reaksi-reaksi yang ditandai dengan disorganisasi psikologis dan ”lepas dari realita”.  Keadaan ini muncul sejajar dengan terjadinya disorganisasi pemikiran dan pengamatan.  Bila stres tetap berlanjut dan tidak ada usaha-usaha mereorganisasi tingkah laku individu yang bersangkutan, maka pada tahap ini akan memunculkan disorganisasi psikologis lebih berat, seperti; apatis, stupor, dan tingkah laku ekstrim lainnya bahkan kemungkinan juga kematian.
         Ada kalanya untuk sampai pada tingkatan stres yang membahayakan seseorang, tidak melalui tiga tahapan seperti yang sudah dijelaskan.  Hal tersebut terjadi karena jarang sekali seseorang menghadapi problem yang bersifat tunggal.  Lingkungan kesatuan, relasi dengan atasan dan teman, ataupun lingkungan keluarga, secara potensial merupakan tambahan beban bagi setiap orang, sehingga sangat mungkin seseorang dihadapkan pada berbagai masalah secara bersamaan.  Selain itu pengalaman seseorang sepanjang kehidupannya dapat pula memberikan dampak yang mengganggu.  Bagi awak pesawat, pengalaman pertempuran sebelumnya tak pelak sering memberi dampak yang kurang menguntungkan.  Kondisi-kondisi tersebut mempunyai nilai kumulatif, yang memungkinkan reaksi antar individu berbeda satu dengan lainnya. 
Dengan latar belakang stres lama yang ada pada seseorang, maka yang bersangkutan menjadi rawan terhadap berbagai strers baru betapapun kecilnya stres tersebut.  Stres baru atau stres tambahan, meskipun kecil dapat menghancurkan daya tahan seseorang, sehingga dalam waktu yang relatif singkat tanpa melalui tiga tahap GS sudah menampilkan gejala-gejala fisik,  psikis atau tingkah laku yang menarik perhatian.  Dalam hal ini stres tambahan dipandang sebagai trigger karena memelatuk kondisi rawan yang sebelumnya sudah ada pada diri seseorang secara laten. 
Untuk sampai pada titik hancurnya daya tahan seseorang menghadapi stresor, setiap orang memiliki titik batas atau titik kritis yang tidak sama.  Ada yang tinggi namun ada juga yang rendah, hal tersebut bergantung predisposisi keptibadian atau taraf integritas struktur dasar kepribadian dan stabilitas emosi.  Sedangkan kapan titik kritis ini tercapai ditentukan oleh kekuatan (intensitas) stres dan lamanya (durasi) stres yang dialami.  Selain itu, predisposisi menentukan besarnya kekuatan yang tersedia untuk dimobilisir, tanggapan terhadap besarnya stres, cara-cara bertahan, dan titik limitasi daya tahan, dan bagaimana antisipasi seseorang setelah titik limitasi terlewati.  Seseorang dengan predisposisi neurotis akan jadi neurotik dan predisposisi psikotis akan jadi psikotik. 
 Sedangkan mereka yang relatif bebas dari predisposisi seperti itu atau yang well integrated dan stabil secara emosional, akan mengembangkan apa yang disebut exhaustion reaction.  Terdapat tiga tipe reaksi exhaustion yaitu :

Q Situasional (Transient Exhaustion Reaction).  Reaksi ini cenderung dikembangkan oleh seseorang bila terus menerus berada dalam situasi penuh kekecewaan dalam jangka waktu yang lama dan yang bersangkutan merasa kehabisan daya untuk menghadapinya.
Q Traumatis (Traumatic Exhaustion Reaction).  Reaksi-rekasi seseorang yang menghadapi pengalaman berdaya kejut besar yang amat menggoncangkan keseimbangan jiwanya.
Q Combat Exhaustion Reaction. Khusus mengenai reaksi ini akan dibahas tersendiri pada uraian selanjutnya.

Combat Exhaustion Reaction
           Combat exhaustion reaction adalah reaksi yang diakibatkan oleh stres pertempuran.  Dalam perang Dunia I istilah ini dikenal dengan shell shock, dalam Perang Dunia II lebih populer dengan sebutan operational fatigue dan war neurosis.  Sejak Perang Korea sampai dengan Vietnam, istilah tersebut dikenal dengan combat fatigue atau combat exhaustion reaction dan pada masa-masa belakangan ini sering diistilahkan dengan post traumatic stress disorders (PTSD).  Apapun istilahnya reaksi-reaksi yang ditunjukkan memberikan gambaran klinis yang sama.  Stres pertempuran ini tidak saja bercorak situasional (ditinjau dari durasi), tetapi juga bersifat traumatis dan repetitive. Sebenarnya gejala-gejala yang ditimbulkannya merupakan reaksi emosional   yang manusiawi dan normal terhadap situasi abnormal (Roth, 2004).  Namun seperti telah disinggung sebelumnya bahwa setiap orang mempunyai batas ambang kekuatan dalam menghadapi stres. 
Gejala-gejala stres yang muncul tergantung pada pengalaman traumatis yang dialami dan karakteristik kepribadian yang bersangkutan.  Umumnya mereka sering membayangkan kembali peristiwa trauma dan kadang menampakkan gejala seperti murung, letih, tremor, hipersensitif, gangguan tidur dalam bentuk mimpi menakutkan, dan disorientasi yang mendekati stupor.  Khusus untuk awak pesawat setelah melaksanakan misi penerbangan tempur yang lama menunjukkan simptom simptom yang khas, seperti kemurungan sekaligus depresi yang mengiringi perasaan kecemasan, fobi terhadap misi-misi pertempuran, irritabilitas dan startle reaction.  Selain itu, simptom yang diakibatkan oleh stres yang bersifat kumulatif berbeda dengan yang diakibatkan oleh stres pertempuran yang mendadak dan kuat sekali.
         Keadaan awal dari combat exhaustion reaction dikenal dengan incipient state.     Sebagai ilustrasi akan digambarkan hasil penelitian terhadap Divisi ke 25 AD Amerika selama bertugas di Vietnam, sejak awal kedatangannya sampai selesai bertugas di medan pertempuran.  Mereka bertugas selama dua belas bulan dan sering diantara mereka dilakukan rotasi penempatan.  Pada periode awal yang berlangsung sampai tiga bulan, ditandai dengan semangat besar yang diwarnai kekhawatiran (apprehensive enthusiasm).  Kekhawatiran disini berhubungan dengan rasa cemas yang terkait dengan keterpisahan karena meninggalkan keluarga, memasuki daerah yang masih asing, dan antisipasi kondisi dua belas bulan ke depan atau lebih yang memungkinkan akan menemui hal-hal yang mencekam dan berbagai kesulitan.  Sedangkan semangat tinggi merupakan pembentukan reaksi (reaction formation) berupa reaksi sebaliknya sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap perasaan khawatir dan cemas. 
 Dari laporan penelitian terlihat adanya gejala incipient state yang umumnya akan memunculkan tiga simptom utama di mana satu sama lain akan saling mempengaruhi.  Ketiga simptom tersebut yaitu :

Q Simptom pertama, meningkatnya iritabilitas dan gangguan tidur.  Gejala ini  muncul dalam bentuk reaksi-reaksi berlebihan terhadap rangsang-rangsang kecil, mudah marah, dan gampang tersinggung.  Bahkan ada yang sampai menangis  terisak oleh frustrasi yang kecil saja. Reaksi marah yang muncul mulai dari yang ringan sampai pada tindakan yang tidak terkendali seperti mengamuk.  Secara subyektif keadaan iritabilitas ini dialami dengan sadar sebagai hypersensitivitas yang menyiksa. 
Q Simptom kedua, ada hubungannya dengan hypersensitivitas, yaitu startle reaction yang semakin terlihat jelas.  Gejalanya antara lain menjadi mudah gugup dan terkejut, lari, loncat, terus mencari perlindungan hanya oleh bunyi, gerakan atau sinar yang sedikit saja.  Bunyi desiran angin suah membuatnya terkejut, dikira musuh yang sedang mengintip.  Bunyi benda kecil jatuh sudah menjadikan panik karena mungkin saja dikira suara meriam musuh. 
Q Simptom ketiga, simptom yang menyertai iritabilitas yang semakin meningkat, yaitu sulit tidur sekalipun situasinya memungkinkan.  Mereka tahu bahwa harus mencari kesempatan untuk tidur  tetapi pada waktu yang sama mereka juga takut sewaktu-waktu terbangun  karena suara-suara atau mimpi-mimpi yang menakutkan.  Bila kesempatan tidur semakin sulit, maka yang bersangkutan akan merasa terganggu  sekali.

 Keadaan awal di atas dapat berlangsung lama tanpa banyak berubah sampai berhari-hari, beberapa minggu, bahkan berbulan-bulan.  Cepat atau lambat, bila kondisi ini tidak segera ditangani dengan baik, akan muncul perubahan menjadi akut.  Bila sudah pada taraf akut, dihadapan Psikolog penderita akan mengemukakan keluhan-keluhan dan menunjukkan simptom-simptom yang macamnya mungkin sama tetapi tarafnya berbeda dibandingkan dengan simptom-simptom dekompensasi kepribadian.  Umumnya mereka cepat-cepat datang dan mengeluh “Saya sudah tidak mampu lebih lama lagi” atau “Saya sudah tidak berdaya sama sekali”, “Saya sudah tidak kuasa mengendalikan diri lagi”.   Mereka tampak berduka sekali, tidak menghiraukan kebersihan diri lagi, terlihat kepayahan, wajah tertekan, dan kadang-kadang terdengar isak tangis.  Tangan gemetar dan tersentak-sentak, kelihatan bingung bahkan dapat lebih berat lagi dengan tampil membisu, memandang ke atas dengan terbengong bengong. 
        Bila lebih akut lagi, penderita menunjukkan kecemasan yang amat kuat.  Dalam mengamati masalah kecemasan ini terdapat pengecualian yang kemungkinan besar disebabkan pengaruh budaya. Contoh yang dimaksud misalnya ;  dalam Perang Dunia II, tentara India sesuai dengan budayanya untuk menunjukkan rasa takut merupakan hal yang sehingga mereka jarang menunjukkan reaksi kecemasan. Sebaliknya mereka kerap menunjukkan self multilation (melukai diri sendiri), atau cara-cara “terhormat” lainnya untuk menghindari keikut sertaan yang bersangkutan pada pertempuran selanjutnya. 
Pada contoh kasus lainnya adalah menarik untuk mengetahui bahwa mereka yang luka cenderung menunjukkan tingkat kecemasan yang ringan saja dan tanda-tanda stres yang tidak begitu nyata.  Umumnya justru makin berat lukanya maka mimik kecemasannya semakin berkurang.  Tetapi bila mereka mulai sembuh tampak ingin sakit lebih lama lagi.  Kecemasan mulai meningkat lagi bila akan dikembalikan ke medan tempur.
       Pada kejadian lain ada kemungkinan prajurit atau awak pesawat tampak mampu bertahan menghadapi stres pertempuran, dan yang bersangkutan tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan sama sekali sampai saat meninggalkan pertempuran.  Tetapi justru setelah di home base atau di garis belakang, mereka tidak tahan terhadap stres yang sebenarnya relatif tidak begitu menekan.  Kondisi tersebut dapat diinterpretasi bahwa kemampuan adaptasinya sudah habis selama dalam pertempuran. Gejala seperti ini disebut combat exhaustion  reaction yang tertunda.
      Setelah fase-fase awal penugasan berhasil dilalui, maka masuklah periode per-tengahan yang berlangsung sampai dengan bulan-bulan terakhir. Periode ini sering juga disebut sebagai periode pengunduran diri (resignation) dimana pada beberapa personil mengalami gejala depresi yang bersifat kronis.  Periode ini pada sebagian besar personil merupakan puncak produktivitas.  Hal-hal yang ditemukan pada saat pertempuran menjadi sesuatu yang biasa.  Mereka tidak lagi mudah terganggu oleh bunyi ledakan dan bom, komunikasi dengan keluarga sudah terpola dan berlangsung teratur.  Dalam periode ini, mereka umumnya tetap produktif dalam pengertian tetap efektif tetapi tidak telalu mengharapkan penugasan-penugasan bersifat rutin.  Musuh pada periode ini adalah kejenuhan, dan untuk membunuh kejenuhan sehari-hari meraka bermain kartu dan banyak yang minum alkohol.  Mulai muncul penyakit penyakit kesepian, menurunnya selera makan, dan berat badan. 
         Memasuki periode akhir yaitu bulan  terakhir   penugasan ciri utamanya adalah anxious apprehension. Identifikasi kelompok mulai menurun, beberapa orang mulai menghindari pertemuan dengan teman.  Pikiran sudah berada di rumah.  Kadang-kadang timbul perasaan bersalah karena akan meninggalkan rekan-rekan senasib.  Ada juga yang mengalami perlakuan iri dari teman sekesatuan.  Sebagian besar mengalami kecemasan ringan sampai dengan perasaan fobia.  Sering kali prajurit dengan reputasi baik menolak penugasan dalam misi-misi yang tidak mempunyai alasan kuat.   Biasanya unit-unit tempur mengenal tanda tanda ini dan mengambil kebijaksanaan untuk tidak menugaskan mereka untuk patroli-patroli penyerangan yang bersifat aktif.

Metode dan Teknik Pencegahan dan Treatment Terhadap Stres Pertempuran
            Dari berbagai pengalaman perang dan operasi militer, diperoleh gambaran bahwa upaya pencegahan terhadap timbulnya gejala stres pertempuran perlu ditempatkan pada perhatian yang utama dan esensial.   Untuk itu para prajurit termasuk awak pesawat militer perlu dibekali pelatihan sebelum melaksanakan missi operasi militer atau pre-mission training dengan fokus pada pengenalan gejala stres dan teknik praktis mengatasinya.
          Berdasarkan pertimbangan tersebut, Angkatan Udara Jerman telah mengembang-kan Strategi Pelatihan Dua Tingkat yang diberikan saat latihan Pra Tugas awak pesawat sebelum menjalankan penugasan yang meliputi Pelatihan Dasar (basic training) dan Pelatihan Lanjut (advance training).    Pelatihan dasar mencakup;  informasi tentang stres, hubungan antara stres dan keregangan (strain), strategi menanggulangi stres (coping), pentingnya kebugaran psiko-fisik, informasi tentang metode relaksasi dan latihan mental, teknik relaksasi, latihan mental, dan dukungan psikologi diri sendiri serta bantuan rekan yang dapat diharapkan.  Sedangkan pada pelatihan lanjut, disamping materi pada pelatihan dasar ditambah dengan perbincangan psikologis (psychological conversation) dan Critical Incident Stress Management atau CISM (Roth, 2004).
          Khususnya untuk CISM diberikan kepada mereka yang pernah menghadapi stres atau situasi stres potensial. CISM merupakan metode intervensi namun tidak termasuk metode terapi. Intervensi CISM dapat dilaksanakan dari fase sebelum krisis, sampai kondisi akut dan sesudahnya.   Metode ini dapat diterapkan kepada anggota militer atau awak pesawat sebagai individu maupun terhadap kesatuan, sub kelompok dalam kesatuan, dan keluarga.   
       Pelatihan psikologi dan metode treatment terhadap anggota militer yang melak-sanakan tugas tempur setidaknya perlu mempertimbangkan tiga prinsip utama, yaitu ; kesegeraan, kedekatan, dan ekspaktasi. 
            Prinsip kesegeraan berhubungan dengan pentingnya mendeteksi secara dini gejala-gejala combat exhaustion atau PTSD dan secepat mungkin memberikan treatment.  Karena penundaan treatment ketik kemunculan gejala awal dapat membuat penderita terpaku pada pola dekompensasi dan lebih resisten terhadap terapi.  Prinsip kedua yaitu prinsip kedekatan berkaitan dengan usaha treatment atau terapi yang perlu ditempatkan sedekat mungkin dengan satuan tempurnya atau daerah operasi.   Terakhir, prinsip ekspaktasi berhubungan dengan sikap bahwa semua perajurit setelah mendapatkan treatment diharapkan tetap mampu melaksanakan tugas-tugas tempur dan menyingkirkan penderita stres dari medan pertempuran bukan merupakan alasan untuk memindahkan mereka selamanya dari pertempuran.

Penutup
        Demikian ulasan ringkas mengenai aspek-aspek psikologi dalam operasi pener-bangan militer.  Tentunya tidak semua masalah dapat diulas dan dikembangkan secara rinci dan mendalam, namun setidaknya tulisan ini dapat memberikan informasi tentang sebab dan gejala yang merugikan missi operasi militer serta upaya-upaya penanggulangannya agar personil maupun awak pesawat dapat tetap efisien dan efektif secara individual maupun kesatuan.

Kepustakaan

Coleman, JC. (1974), Abnormal Psychology and Modern Life, India:  Foresman Scott.
Komando Pendidikan TNI AU, (1974). Stres dan Psikologi Penerbangan, Jakarta: Wingdik I.
Roth, W., (2004).  Prevention and Treatment of Post-Traumatic Stress Effects.  Dalam, Goeters, K.M., Aviation Psychology ; Practice and Research. Hampshire : Ashgate Publishing Limited.
United Nations Deprtement of Peace-keeping Operation. (1995).  United Nations Stress Management Booklet.  Turin:  The International Training Centre of the ILO.
Watson, P., (1980).  War On The Mind ; The Military Uses & Abuses of Psychology.  London:  Penguin Books.
Widura IM., (1990).  Mengamati Gejala Psikologi dan Pencegahannya Dalam Lingkup Pertempuran.  Makalah Pada Penataran Dukungan Tempur dan Kesehatan Lapangan bagi tenaga Kesehatan TNI AU di Lanud Abd, Malang. 






Tidak ada komentar: